Wherever You Are

Gerimis masih sedikit demi sedikit mengguyur kita. Di dataran tinggi dengan suhu hampir nol dan mulai tertutup kabut ini, kita masih harus menempuh perjalanan sekitar tujuh kilometer. Sudah hampir mustahil menemukan truk sayur milik penduduk lokal yang bisa mengangkut kita kembali ke penginapan. Di kanan kiri kita hanya terlihat lembah-lembah kebun sayur dan gundukan-gundukan kotoran hewan yang digunakan sebagai pupuk kandang.

Kau tersenyum, lebih mirip menyeringai, tapi aku bisa melihat kegembiraan yang terlihat kekanak-kanakan di matamu.

“Kenapa… kamu mau ikut berpetualang bersamaku?” kau bertanya.

Aku sedikit terkejut. Sepertinya keningku berkerut karena bingung. “Bukannya kita sudah melakukannya bersama sejak berjuta-juta tahun yang lalu?”

Kali ini kau tertawa terbahak-bahak. Hal yang sangat jarang terjadi. Kau membungkuk dan menahan berat tubuhmu dengan memegang kedua lututmu. Aku melihat celana dan sepatu boot-mu yang berlumpur. Pemandangan yang tidak asing lagi bagi kedua mataku.

“Kamu demam ya?” aku menaruh punggung tanganku di keningmu. Kau meraih tanganku dan tidak melepaskannya lagi.

“Kamu… memang tidak ada duanya, tuan putri,” kau mengecup tanganku.

Jantungku mulai berdebar kencang. Aku berusaha mengendalikan diri karena kita sudah berteman sejak kita baru lahir. Aku merasakan cincin tunanganmu menonjol dan lebih dingin dari kulit tanganku. Beberapa bulan lagi kau akan menikah. Dengan seorang wanita yang lebih feminin dariku. Yang bisa menjadi ibu rumah tangga. Yang bisa mengurus anak-anak dan menunggumu pulang kerja setiap sore. Tidak seperti aku, yang hampir tidak mengenal kata rumah. Rumahku adalah kemanapun aku pergi. Aku menelan ludah, seperti menelan kecemburuanku.

“Mia, aku… “

Kau mulai melangkah perlahan. Aku mengikutimu, menunggumu meneruskan kalimatmu.

“.. aku berpikir, kalau aku menikah dengan Ana, mungkin hidupku akan jadi biasa saja. Kerja kantoran, pulang, menghabiskan waktu dengan keluarga di rumah… hidup yang benar-benar ingin aku hindari karena terdengar sangat membosankan.”

Aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Aku sangat mengenalmu. Kau punya cukup banyak stok adrenalin untuk dihamburkan. Pekerjaanmu sebagai freelancer di sebuah majalah olahraga ekstrim membuatmu dapat bergerak bebas sekaligus mendapat penghasilan. Waktu kau memutuskan untuk melamar Ana, kau berkata bahwa Ana akan jadi istri yang sempurna. Dia keibuan, pandai memasak dan mengurus rumah, terlebih lagi orang tuamu mengenal orang tua Ana. Lagipula, kau sendiri yang mendekati Ana, bukan acara perjodohan orang tuamu.

Aku mendengarmu menghela napas cukup keras. “Mia… aku berpikir… mungkin kalau aku menikah denganmu, kita bisa tetap berpetualang bersama. Dengan anak-anak juga. Kita bisa merain impian kita bersama. Impianku menjadi fotografer profesional, dan impianmu menjadi jurnalis.”

Kalimat itu menggodaku untuk berkomentar miring karena aku juga menginginkannya. Setelah sepersekian detik, akal sehatku membuatku tidak melakukannya.

“Ron, kamu sudah bertunangan. Keputusan selalu diikuti konsekuensi. Tidak usah berpikir macam-macam lagi,” kataku akhirnya.

“Sangat khas Mia,” kau tersenyum lebar, “terima kasih. Ya, kamu benar. Aku harus bertanggungjawab terhadap Ana dan keluarga kami.”

Lima kilometer berikutnya kita berjalan tanpa kata. Gerimis mulai berhenti. Aku membuka tudung jas hujanku, lalu menenggak persediaan air minumku yang semakin menipis. Aku memandangi punggungmu yang lebar. Warna jaketmu sudah memudar dari aslinya. Selama dua puluh enam tahun kita melakukan ritual rutin untuk berpetualang bersama. Mulai dari tur ke kebun binatang waktu kita masih TK, tur ke planetarium waktu kita SMA, orientasi pecinta alam yang terkesan kejam waktu kita kuliah, uji coba hitchhiking dari ujung ke ujung pulau Jawa setelah lulus kuliah, hingga hari ini kita sedang berada di antah berantah di Tibet.

Aku menyadari bahwa setiap tahun, entah setelah kita berpencar tidak karuan ke berbagai belahan dunia, kita selalu menyempatkan diri untuk pergi bersama. Aku juga menyadari bahwa sejak lima tahun lalu, Ana selalu cemburu padaku walaupun dia selalu tampak ramah waktu menanyakan petualangan kita. Ana tidak pernah mau ikut karena Ana tidak suka jalan kaki, tidak suka hujan, tidak suka lumpur, tidak suka kedinginan, tidak suka kepanasan, dan banyak tidak suka yang lainnya. Singkatnya, Ana sama sekali bukan petualang. Tapi Ana sepertinya mendukungmu. Ana bisa menjadi istri yang sempurna untukmu.

Kalian akan tinggal di sebuah rumah di kota. Kamu harus melupakan rumah di tepi sebuah tebing yang menghadap laut. Ana tidak akan memanjat tebing untuk masuk ke rumah. Setidaknya kamu akan punya tempat untuk pulang. Tidak seperti sekarang, sama seperti aku.

Mungkin ini akan menjadi petualangan kita yang terakhir.

 

Aku memandang diriku memakai gaun satin biru muda di cermin. Aku siap menghadiri resepsi pernikahan Ron dan Ana. Aku berlatih berkali-kali untuk mengucapkan pidato di resepsi nanti. Semoga aku tidak tiba-tiba menangis dan membuat maskaraku luntur sehingga aku terlihat seperti shinigami bergaun biru. Aku sudah menangis dua hari yang lalu, jadi seharusnya aku akan baik-baik saja.

Aku mendengar suara tamu-tamu yang mulai berdatangan di pesta kebun di halaman rumah Ron ini. Aku mengatur napasku, membenahi tatanan rambut, lalu melangkah keluar dari kamar mandi. Ron berlari-lari melambaikan tangan ke arahku. Dia tampak panik.

“Mia!” Ron menahan suaranya supaya tidak terdengar oleh para tamu undangan.

“Kenapa?” tanyaku

“Ana… sepertinya ingin berubah pikiran.”

“Oh, no! Kenapa sekarang? Dimana dia?”

“Di kamar tamu.”

Aku meninggalkan Ron yang disapa oleh beberapa tamu.

Pintu kamar tamu sedikit terbuka. Beberapa orang mengintip, termasuk ibu dan beberapa kerabat Ana, tapi sama sekali tidak ada yang masuk.

“Ada apa?” aku berbisik

“Ana mengusir kami semua.”

Aku memberanikan diri masuk, lalu menutup pintu kamar. Ana menoleh, seperti ingin marah, tapi kemudian hanya kembali memandangi lantai. Aku duduk di sebelahnya, memegang tangannya yang gemetaran. Ana mulai menangis sesenggukan. Aku serabutan meraih tisu dan memberikannya pada Ana.

“Mia… apa Ron benar mencintai aku?” suaranya seperti mengerang menahan sakit.

Aku ingin melontarkan teoriku bahwa cinta adalah sebuah keputusan. Cinta harus dijaga supaya tetap bertumbuh. Tapi kelihatannya mengucapkan teori ini sama sekali tidak akan membuat situasi menjadi baik.

“Kalau dia tidak cinta, dia tidak akan melamarmu,” jawabku.

Ana memandangku. Dia sudah agak tenang. Aku tersenyum, menggenggam tangannya lebih erat.

“Tapi sepertinya dia lebih cinta pada impiannya. Aku takut dia pergi meninggalkanku karena aku tidak suka berpetualang. Aku tidak seperti kamu, Mia…” Ana menangis lagi.

“Ana… kalian sudah bersama selama lima tahun. Apa pernah dia tidak kembali padamu? Ana, kemanapun Ron pergi, dimana kamu berada adalah tempatnya untuk pulang.”

Tangis Ana berhenti perlahan-lahan. Dia menghapus air matanya, lalu memelukku cukup lama. Kali ini aku yang ingin menangis. Aku sedang meyakinkan seorang wanita untuk menikahi orang yang sangat aku cintai. Untung saja seseorang mengetuk pintu dan menginformasikan bahwa sebentar lagi Ana harus siap.

Prosesi pernikahan berjalan lancar. Semua orang bahagia. Ron mengedipkan mata dan mengacungkan jempol padaku. Dia terlihat lebih dewasa sekalipun masih melakukan hal konyol.

Suatu hari nanti, aku juga akan menemukan tempatku untuk pulang. Suatu hari nanti, aku juga akan bisa berkata pada seseorang, “home is wherever you are.”

ON TIME

“Kalau aku bilang, ‘ayo sekarang kita berangkat’ bagimana?” muncul di Yahoo Messenger.

Pertanyaan itu seharusnya jadi pertanyaan retorik, tapi berjuta-juta pemikiran timbul di benakku waktu kamu menanyakannya. Kita sama sekali belum pernah bertemu langsung. Kita tinggal di belahan bumi yang berbeda. Kita memang sudah berkomunikasi secara intensif selama hampir setahun dan bahkan merencanakan perjalanan misi keliling dunia bersama. Hanya saja, sekarang aku masih menjalankan bisnis yang sepertinya tidak bisa ditinggalkan disini. Ayahku mungkin tidak akan setuju jika aku tiba-tiba pergi. Selain itu, bukannya aku tidak percaya kalau Tuhan sanggup memelihara kehidupanku waktu aku melayani Dia sepenuh waktu, tapi aku juga tidak mau bertindak gegabah tanpa mendapat konfirmasi dari-Nya. Apakah ini sekedar keinginanku sendiri atau benar-benar kehendak-Nya? Yang terakhir, jujur pada diriku sendiri, adalah bahwa aku tidak tahu apa aku bisa mempercayaimu.

“Aku akan berdoa dulu,” jawabku.

Entah bagaimana ekspresimu waktu kau membacanya, tapi beberapa detik kemudian kau membalas pesanku.

“Hahaha… kupikir kamu orang yang spontan seperti kesanku selama ini. Ternyata kamu ragu-ragu sekali waktu aku bertanya.”

“Yah, maaf, tapi aku harus tahu apa ini kehendak Tuhan.”

Walaupun zona waktu kita berbeda 12 jam, tapi aku bisa membayangkan kita sedang duduk diatas rumput, di bawah bayang-bayang sebuah pohon di tepi sungai. Mungkin di suatu tempat di pinggiran kota di Jepang. Seperti impian kita. Aku bisa melihat kau memandang jauh ke depan, kemudian memandangku sambil tersenyum.

“Aku punya sebuah pertanyaan, tapi aku ingin kamu menjawabnya dengan jujur,” katamu.

“Baiklah. Apa?”

“Pernahkah kamu… mempertimbangkan aku sebagai kandidat calon suamimu?”

Aku terpana sejenak. Tiba-tiba sekelilingku menjadi sunyi senyap. Aku merasakan detak jantungku semakin mengganggu pendengaranku. Kali ini aku tidak bisa menjawab dengan jujur. Setelah kau membuat aku banyak berharap dan juga hilang pengharapan. Kadang kau membuatku berpikir bahwa kita ditakdirkan untuk bersama, tapi lebih banyak kali kau membuatku berpikir bahwa kita hanya bisa bersama sebagai sepasang sahabat. Terlebih lagi setelah kau bercerita tentang mimpimu bertemu calon istrimu, yang tentu saja bukan aku. Ya, aku cemburu, dan aku ingin tahu reaksimu saat aku menjawab pertanyaanmu.

“Hmm… apa ini jebakan?” tanyaku

“Hahaha… bukan. Aku benar ingin tahu. Tapi tolong jawab dengan jujur. Tidak usah takut.”

“Baiklah… tadinya aku mempertimbangkannya.”

“Tadinya? Jadi sekarang tidak lagi? Kenapa?”

Entahlah. Sebenarnya aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu, tapi jari-jariku tidak berhenti menulis sesuatu yang mungkin akan kusesali.

“Ya… mungkin karena aku lebih menikmati menjadi temanmu. Kalau kamu sendiri bagaimana? Apa kamu mempertimbangkan aku sebagai calon istrimu?”

“Ya… tadinya… sama.”

Aku kecewa. Kepada diriku sendiri, juga kepadamu. Apa kita hanya sedang mempertahankan ego kita masing-masing? Beberapa menit kita tidak menulis sepatah kata pun. Kamu, aku… bergumul dengan pemikiran dan perasaan kita sendiri. Aku bisa membayangkan senyummu memudar perlahan-lahan. Kemudian kau berdiri dan mengucapkan selamat tinggal.

“Terima kasih.”

“Sama-sama.”

“Selamat tinggal.” Kata itu akhirnya terlontar lagi walaupun kau tetap kembali berkali-kali setelah mengucapkannya.

“Selamat tinggal.” Kata yang sama, yang tidak pernah aku ucapkan sebelumnya, yang berarti aku tidak takut lagi kehilanganmu, meluncur tanpa terkendali.

Percakapan terakhir kita. Setelah itu aku tidak pernah lagi mendengar kabar darimu. Aku menyimpulkan bahwa pemikiranku benar, bahwa memang seharusnya aku tidak pernah mempercayaimu.

 

Bertahun-tahun kemudian, aku memberanikan diri melangkah keluar dari duniaku untuk benar-benar pergi keliling dunia dengan sebuah kapal misi. Setelah tidak pernah menyentuh dunia IT, aku akhirnya sekarang aku sedang duduk memandangi serentetan syntax yang membuat otakku berdenyut-denyut tak karuan, memberontak meminta makanan manis.

Aku pergi ke ship shop dan membeli sekaleng Vanilla Coke dingin, lalu keluar menghirup udara segar di laut lepas. Ini seperti impian yang menjadi nyata. Walau setelah beberapa bulan aku tidak terlalu gembira lagi saat kapalku berpindah negara. Sekalipun aku berada di negara asing, ada sesuatu yang hilang yang membuatku merasa semuanya biasa saja. Gejolak yang biasanya menyeruak dari dadaku setiap aku melangkah turun ke darat di sebuah negara sudah menguap entah kemana bahkan sebelum kapal ini berlabuh disana.

Aku kembali ke ruang kerjaku dan siap berkutat lagi dengan download script bodoh itu. Tiba-tiba managerku muncul dan berkata, “hey, bisa lihat di support center, ada request baru karena beberapa project workers akan datang minggu depan. Tolong buatkan account dan mailbox untuk mereka ya. Jangan lupa cek di address book, siapa tahu mereka sudah punya mailbox di salah satu kantor perwakilan kita.” Belum selesai otakku memroses kecepatan bicara ditambah aksen Inggrisnya yang kental, dia muncul lagi, “ngomong-ngomong, salah satu project worker akan bekerja di departemen kita lho. Aku dengar dia cukup berpengalaman.”

“Wow, great!” hanya itu reaksiku melihat betapa sumringahnya dia.

Aku menghela napas dan membuka request baru untuk project workers. Seperti biasa, aku langsung membuka program administrator untuk pembuatan account baru. Aku menelusuri tabel daftar nama projet workers dengan malas-malasan. Sampai aku melihat nama yang tidak asing lagi. Mungkin aku hanya paranoid, tapi itu benar namamu. Aku melihat kolom tanggal lahir dan negara. Ya, itu memang benar kau. Kenapa kau muncul disaat yang tidak tepat? Atau tepat? Aku tidak tahu. Aku terpaksa membuatkan account dan mailbox untukmu sambil menggigit lengan sweaterku. Perasaan gemas, ingin marah, penasaran, sepertinya berkumpul di lengan sweaterku sehingga aku menggigitnya lebih kuat.

“Faye,” Chris menekan jari telunjukknya di pundakku.

“Hah?” aku melepaskan gigitanku dan menoleh.

“Kamu kenapa?”

“Argghhh,” hanya gerutuan dengan volume sangat rendah yang keluar dari mulutku, beserta dengan gerakan tangan mencakar-cakar meja.

Chris tertawa, lalu menepuk-nepuk kepalaku seperti yang biasa dilakukannya waktu melihatku frustrasi. Aku berharap bisa menumpahkan isi kepalaku yang sesungguhnya pada Chris tentang apa yang sedang terjadi. Tapi hatiku berteriak-teriak tak karuan, membuat kepalaku panik dan kacaulah semua informasi yang seharusnya bisa menjadi paragraf untuk menjelaskan situasiku.

“Semua akan baik-baik saja. Berdoalah,” kata Chris sebelum kembali memandangi monitornya.

Benar. Semua akan baik-baik saja. Tidak ada pencobaan yang melebihi kekuatanku. Lagi pula Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Semua pasti akan baik-baik saja.

 

Hari itu aku bertugas sendirian. Aku tidak keberatan karena hampir semua orang libur hari ini. Jadi tidak terlalu banyak pekerjaan dan aku bisa ngemil dengan bebas tanpa harus berbagi. Aku tidak peduli lagi tentang lemak-lemak yang mulai menimbun di perutku.

“Hai,” sebuah suara mengagetkanku.

Aku otomatis menoleh dengan cengiran, “yes, how can I help you?”

Sedetik kemudian aku merasakan tubuhku mulai membeku.

“Hai, aku project worker yang baru. Namaku Jose. Kita akan jadi teman sekantor.”

Kau tersenyum seakan kau sama sekali tidak mengenaliku. Mungkin memang tidak, karena sebelumnya kita tidak pernah bertemu. Tapi aku mengenali tanda lahir di lehermu. Aku berdiri dan mengulurkan tangan.

“Aku Faye. Silakan duduk.” Aku menyeret sebuah kursi untukmu, “maaf di kantor sedang tidak ada orang karena yang lain libur kecuali aku.”

“Faye… jadi sudah berapa lama kamu kerja disini?”

“Hampir satu tahun. Hmm… dari mana kamu tahu tentang kapal ini?” pertanyaan standar berikutnya…

“Dari google. Aku membaca kalau mereka masih membutuhkan orang IT, jadi aku mendaftar sebagai project worker. Berapa lama kamu akan tinggal disini?”

“Dua tahun.”

“Setelah itu apa rencanamu?”

“Mungkin aku akan pergi ke Jepang untuk misi jangka pendek.”

“Wow… kedengarannya menarik. Apa kamu suka Jepang?”

 

Hening. Tenggorokanku tercekat. Kekecewaan yang sudah lama tertimbun di hatiku tiba-tiba menyeruak keluar dan mencekik leherku.

“Faye… maafkan aku.”

Aku hampir tidak percaya bahwa kau mengucapkan kalimat itu. Aku berusaha mengumpulkan seluruh bagian diriku yang masih waras untuk bernapas dan mengendalikan diriku.

“Untuk apa?” tanyaku.

“Karena aku tiba-tiba saja menghilang.”

“Ku pikir kamu sudah tidak ingat apa-apa lagi tentang kita.”

“Aku tidak punya kata-kata lain yang bisa aku tulis lewat yahoo messenger. Kata-katamu bagaikan petir menyambar jantungku yang langsung berhenti seketika. Aku seperti mati saat itu,” kau menatap mataku. Pandangan mataku mulai kabur karena tergenang air mata.

Kali ini kau memegang kedua tanganku. Tanganmu terasa dingin. “I know we can’t make a brand new beginning, but we can make a brand new ending.” Aku hanya memandangi tanganmu yang masih memegang tanganku. Air mataku yang panas menetes di salah satunya. Aku menghirup banyak-banyak oksigen di ruangan tanpa ventilasi ini.

“Jose…” aku mendengar suaraku yang serak, menarik satu tanganku lepas dari tanganmu untuk menghapus air mataku supaya aku bisa melihatmu dengan lebih jelas. Aku tidak mengerti arti tatapan matamu, yang penuh harap. “Aku menerima permintaan maafmu. Aku juga minta maaf karena saat itu aku tidak sepenuhnya menjawab jujur.”

Kau tersenyum dan mengangguk.

“Kejadian itu sudah bertahun-tahun berlalu,” kataku, berusaha membalas senyummu, “sampai jumpa besok. Aku akan memperkenalkanmu pada tunanganku, Chris.”

Ya, kau terlambat, atau mungkin tepat waktu. Aku sudah menemukan orang yang ditakdirkan untuk bersama denganku bukan hanya sebagai sahabat.

DUA PSIKOPAT

Singapura

Disana kita berdiri berhadapan dengan kamera kita masing-masing, mencoba mengambil gambar dari sudut pandang yang berbeda.

Pagi itu adalah hari terakhir aku bisa keluar dengan bebas di Singapura. Aku sengaja bangun lebih awal, mengalahkan kemalasanku yang bercampur sempurna dengan kelelahan kerja hari sebelumnya. Untuk pertama kalinya setelah 10 hari di Singapura, akhirnya aku berjalan melintasi Sentosa Boardwalk dari Vivo City menuju pulau Sentosa. Udara segar dan hangatnya sinar matahari pagi membuat mood-ku semakin baik. Pemandangan di sepanjang boardwalk dan birunya air laut benar-benar menenangkan. Sepanjang jalan aku mengagumi karya Tuhan dalam warna-warna yang sempurna ini.

Masih terlalu pagi untuk melihat-lihat disana, tapi ada cukup banyak orang yang sudah mulai berfoto atau sekedar jalan-jalan. Aku berdiri memandangi Vivo City Mall dari seberang. Beberapa jam lagi aku akan meninggalkan Singapura menuju Bangkok. Waktu berjalan begitu cepat. Sepertinya aku belum melakukan apa-apa di Singapura. Mungkin aku akan mengingat waktuku di Singapura sebagai “kebebasan” saja, tanpa ada sesuatu yang bermakna untuk dikenang.

Dengan enggan aku melangkah untuk kembali ke Vivo City sambil sebentar-sebentar berhenti untuk mengambi foto. Aku melihat sebuat paviliun bergaya Eropa yang terlihat sangat indah dengan latar belakang langit dan laut. Disanalah kita berdiri berhadapan dengan kamera kita masing-masing, mencoba mengambil gambar dari sudut pandang yang berbeda. Aku menunggumu menurunkan kamera untuk mempersilakan aku mengambil gambarku. Lima detik kemudian, hal itu tidak pernah terjadi. Aku mengalah dengan agak kesal. Saat aku menurunkan kamera, kau juga melakukan hal yang sama. Aku ingin melihat ekspresi wajahmu, ternyata kau malah tersenyum. Aku memilih untuk tidak membalas senyumanmu dan segera bergegas ke arah gerbang Sentosa Boardwalk.

Benar saja, dalam waktu singkat aku sudah melupakan kejadian itu.

 

Hong Kong

Aku duduk di i-Bakery di daerah Admiralty. Banyak orang sengaja datang kemari untuk mengambil foto sunset atau pemandangan gedung-gedung tinggi khas Hong Kong. Hari masih terang ketika aku mengarahkan kameraku ke tempat orang banyak mulai memasang kamera mereka, sekitar 100 meter dari tempat aku duduk. Fokus kamera kita kembali beradu. Aku menahan napas. Ingatanku kembali ke Sentosa, beberapa bulan yang lalu.

Kita menurunkan kamera hampir bersamaan. Kali ini aku juga ingin melihat ekspresi wajahmu. Kau sama sekali tidak tersenyum. Hanya terpana disana memandangiku. Aku bertanya-tanya, apa kau ingat hari itu? Mungkin tidak. Aku kembali asyik dengan potato wedges-ku karena udara dingin membuatku merasa lapar. Beberapa kali aku melihat ke arahmu dan mendapati kau masih asyik juga dengan kameramu disana.

Saat matahari hampir terbenam, kau sudah tidak ada disana lagi. Entah kemana. Kejadian ini mungkin hanya kebetulan seperti waktu kita bertemu di Sentosa.

Kemudian aku lupa. Bukan sesuatu yang penting untuk mengingat kejadian acak seperti ini.

 

Jepang

Musim semi seperti sudah hampir berakhir di Nagasaki, waktu aku melihatmu lagi melalui lensa kameraku. Kau berdiri disana, dibawah deretan pohon sakura yang bunganya sedang berguguran. Lagi-lagi, mengarahkan kameramu kearahku.

Kembali kita menurunkan kamera hampir bersamaan. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajahmu karena jarak yang terlalu jauh. Kita berdiri berpandangan tanpa kata-kata. Begitu banyak pertanyaan memberondong pikiranku. Mengapa kita hampir selalu bertemu? Mengapa kita selalu mengarahkan kamera pada arah yang berlawanan? Mengapa? Mengapa?

Aku memberanikan diri berjalan ke arahmu. Kau menggerakkan tanganmu memberi tanda supaya aku berhenti dan bahwa kau yang akan berjalan ke arahku. Aku berhenti, menunggumu mendekat. Sekarang aku bisa melihat ekspresi wajahmu. Kau tersenyum, seperti waktu pertama kali kita, atau kamera kita, bertemu. Pertanyaan dalam pikiranku menguap entah kemana.

“Rossa,” katamu sedetik setelah kau berhenti hanya 1 meter di hadapanku.

“Siapa Rossa?” tanyaku.

“Pemilik kameramu sebelum kau membelinya di Florence, Italia, 2 tahun lalu.”

Aku tidak bisa berkata-kata. Bagaimana kau tahu? Ini kamera biasa yang memang agak langka, tapi apa kau menguntitku karena aku membeli kamera yang kau pikir adalah milik Rossa?

“Kamera ini,” kau mengangkat kameramu sebatas dada, “dibeli bersamaan dengan kameramu.”

“Apa kalian sengaja membeli kamera bersama?” tanyaku lagi.

“Tidak. Aku membelinya di sebuah toko barang bekas di Saigon.”

Aku mengerutkan kening, lalu berinisiatif memperkenalkan diri.

“Namaku Lyra. Seperti nama kontelasi.”

“Aku Theo. Seperti orang Yunani menyebut Tuhan.”

Kita duduk di dekat jembatan Megane, menyusun puzzle kisah tentang kamera kita.

Rossa adalah seorang balerina. Kekasihnya, Andre, adalah seorang anak pengusaha kaya raya di Italia. Mereka mulai berpacaran setelah Andre jatuh cinta pada tarian Rossa di sebuah pertunjukan balet. Kemudian hubungan mereka ditentang oleh orangtua Andre, dan mereka ingin melarikan diri ke tempat dimana tidak ada seorangpun mengenal mereka. Sangat klasik. Satu-satunya hal yang tidak lazim dari kisah ini adalah bahwa Rossa dan Andre memutuskan untuk membeli kamera bersama, lalu berpisah selama 2 tahun sebelum akhirnya mereka memulai hidup baru bersama di suatu tempat. Mereka berjanji memotret setiap kejadian selama 2 tahun tersebut dan kembali dengan banyak kisah petualangan cinta mereka. Ya, petualangan cinta. Mereka berasumsi bahwa selama 2 tahun ada kemungkinan mereka akan jatuh cinta kepada orang yang berbeda. Tetapi saat waktunya tiba, hati mereka yang akan menarik mereka kembali kepada satu sama lain.

“Lalu apa yang terjadi dengan kamera-kamera ini?” tanyaku.

“Kamera Andre dicuri saat dia berpetualang ke Vietnam setahun setelahnya, sedangkan kamera Rossa… digadaikan dan pada akhirnya dia tidak mampu menebusnya sehingga kamera itu dijual oleh pemilik pegadaian tempat kamu membeli kameramu.”

“Apa yang terjadi kemudian dengan mereka?”

“Andre meninggal karena kecelakaan saat dia mencoba rock swinging di Arizona. Rossa juga meninggal beberapa bulan setelahnya, karena overdosis.”

Aku terpana. “Tapi bagaimana kamu bisa menjelaskan mengapa kita selalu bertemu dengan kamera saling berlawanan arah?”

Kau tersenyum lagi. “Kalau aku berkata jujur, kamu akan berpikir bahwa aku gila.”

“Jangan-jangan kamu memang gila,” ucapku tanpa berpikir panjang.

Kau mengambil kameraku dan menunjukkan grafir inisial nama Andre disana. Inisial nama yang kurpikir hanya kode biasa pada kameraku. Kau menunjukkan grafir nama Rossa pada kameramu juga. Benar-benar membuatku hampir berpikir bahwa aku sudah gila.

Kemudian kau mengeluarkan sebuah jurnal dari tas ranselmu. Aku menerima jurnal yang kau sodorkan dan mulai mengamati halaman demi halamannya. Di setiap lembar tertempel sebuah foto beserta cacatan singkat. Aku melihat wanita yang sama selalu ada di setiap foto, dan wanita itu sedang mengarahkan kameranya pada sang fotografer.

Halaman pertama ditulis 7 tahun yang lalu.

Florence, Italia. Aku jatuh cinta pada wanita ini.

Aku mengira ini adalah jurnal milik Andre dan wanita itu adalah Rossa. Tapi aku terus membaca serta menemukan bahwa catatan ini tidak berakhir 6 tahun lalu.

Saigon, Vietnam. Aku masih jatuh cinta pada wanita ini.

Jurnal itu masih berlanjut sampai 2 tahun yang lalu, setelah aku membeli kameraku.

Melbourne, Australia. Aku tetap jatuh cinta pada wanita ini.

Aku merinding. Wanita yang sama, kamera yang sama, pose yang sama, di berbagai belahan dunia.

“Dia bukan Rossa. Dan aku tidak percaya tahayul,” katamu seolah menjawab sebagian pertanyaanku.

Aku mengernyitkan kening memandangmu, lalu mengembalikan jurnal dan segera berdiri.

“Apa kamu tidak ingin tahu siapa pemilik jurnal ini dan siapa wanita dalam foto-foto itu? Apa kamu tidak ingin tahu mengapa aku menunjukkannya padamu?” kau tetap duduk tenang disana.

“Apa ada hubungannya dengan mengapa kita selalu bertemu?”

“Apa kamu percaya takdir?” kau tersenyum.

“Mungkin kamu memang gila. Jangan membuatku juga jadi gila seperti kamu,” aku mulai melangkah pergi.

“Lyra.”

Itu adalah pertama kalinya kau menyebut namaku. Suaramu membuatku seperti tersihir dalam sesuatu yang sudah tidak asing lagi. Aku berhenti melangkah, tanpa berbalik kearahmu. Aku menunggumu mengatakan sesuatu.

“Aku juga tidak mengerti bagaimana kisah Andre dan Rossa berhubungan dengan jurnal ini atau bagaimana kita bisa selalu bertemu. Tapi apa kamu bisa memberi aku kesempatan untuk jatuh cinta?”

Aku tidak berharap untuk mendengar sesuatu seperti itu. Jantungku hampir membeku. Semua kisah yang entah nyata atau tidak itu sudah benar-benar mengganggu akal sehatku. Sekarang kau malah menambahinya dengan sesuatu yang lebih tidak masuk akal. Aku berbalik ke arahmu untuk melihat ekspresimu. Kau masih tidak beranjak dari tempatmu semula dan tersenyum. Aku sama sekali tidak bisa melihat apakah kau ternyata adalah psikopat.

Kau berdiri dan melangkah mendekatiku. Dari jarak yang hanya 5 sentimeter dariku, kau mengatakannya sekali lagi.

“Beri aku kesempatan untuk jatuh cinta.”

Aku berharap bisa membaca pikiranmu atau melihat isi hatimu. Aku masih tidak mengerti mengapa kau bertanya padaku seperti itu. Apakah aku seperti orang yang punya hak untuk memberimu izin untuk jatuh cinta? Kepada siapa kau ingin jatuh cinta?

“Apa permintaanku terlalu berat untukmu?”

Kedua matamu seperti menangkap keraguanku. Apa kau ingin jatuh cinta padaku? Apa hal seperti itu bisa diatur? Apa kau serupa dengan Andre atau pemilik jurnal tadi yang ternyata adalah pembunuh berantai? Aku tahu bahwa aku adalah wanita pemberani yang sudah mengelilingi separuh dunia seorang diri. Tapi apa aku bisa menangani seorang pria jatuh cinta? Apakah ini adalah sebuah tantangan? Apakah aku boleh menganggapnya sebagai petualangan baru?

“Lyra.”

Suaramu membuyarkan lamunanku. Aku masih bisa menatap kedua matamu yang sama sekali tidak seperti sepasang mata pembunuh berantai. Tapi siapa tahu?

“Aku bukan psikopat.”

Sepertinya aku membelalak terkejut mendengar pernyataanmu.

“Jurnal itu, dan kisah tentang kamera itu, juga perjumpaan kita… bukankah semuanya adalah tentang cinta?”

“Maafkan aku, tapi aku tidak mengerti apa yang kamu maksudkan tentang memberimu kesempatan untuk jatuh cinta. Jatuh cinta pada siapa? Mengapa kau bertanya padaku?”

Kau tersenyum lagi, “katakan saja ya atau tidak.”

Pikiran dan hatiku berdebat seru mengenai jawabannya. Apa yang akan terjadi jika aku mengatakan ya dan apa yang akan terjadi jika aku berkata tidak? Apa yang akan berubah dari kisah ini? Apa yang akan terjadi jika aku menjual kameraku? Apa yang akan terjadi jika ternyata kita tidak saling jatuh cinta? Apa yang akan kau lakukan jika kita berpisah dan tidak pernah bertemu lagi?

“Hati kita akan selalu menemukan satu sama lain,” katamu sekali lagi, seperti membaca pikiranku.

“Aku bukan Rossa.”

“Dan aku bukan Andre.”

Kita saling memandang entah berapa lama disana, hingga udara hangat daerah selatan Kyushu ini terasa terlalu panas untukku.

“Jika kita bertemu sekali lagi dengan cara yang sama, aku akan menjawab ‘ya’,” kataku seraya meninggalkanmu disana.

Kali ini kau tidak memanggilku, tidak mengejarku, tidak melakukan apapun. Mungkin kau terlalu percaya bahwa hati kita akan selalu menemukan satu sama lain. Misteri kamera ini membuat kepalaku pusing. Aku ingin segera pergi dari sini menuju Dubai. Aku sudah memastikan bahwa aku tidak meninggalkan jejak. Aku tidak ingin kau sengaja mengikutiku supaya kita bertemu lagi. Walaupun rasa penasaranku begitu bergejolak, tapi aku masih bisa menahan diri. Aku akan segera melupakannya saat aku bangun esok hari.

Tapi hingga malam itu kau masih saja menghantuiku.

“Lyra, beri aku kesempatan untuk jatuh cinta.”

 

Macau, Cina.

Berbulan-bulan kemudian, aku sedang berjalan-jalan di San Ma Lo. Aku memotret bangunan-bangunan peninggalan Portugis yang berderet dengan kamera baruku. Aku menjual kamera Rossa pada seorang kolektor di Sri Lanka. Aku ingin mengenyahkan kutukan kamera itu, sekalipun aku juga tidak percaya tahayul.

Aku berjalan terus sampai reruntuhan gereja St. Paul. Saat itu aku kembali terhenyak melihatmu tertangkap lensa kameraku. Kita menurunkan kamera kita. Aku berdiri terpaku disana sambil mengamati ekspresi wajahmu. Kau berjalan ke arahku sambil tersenyum tipis. Tipis sekali. Jantungku berdebar kencang. Aku bertanya-tanya apa yang telah terjadi denganmu selama ini? Apa kau baik-baik saja? Mengapa kau terlihat begitu sedih?

“Kamera baru?” pertanyaan retorik yang sangat umum.

“Hmm,” jawabku sambil mengangguk karena leherku tercekat menahan sesuatu yang terasa menyesakkan di dada.

Kau tidak berkata-kata lagi. Hanya menyisihkan rambutku yang menutupi wajahku karena tertiup angin. Kau kembali tersenyum. Kemudian kau menyodorkan sebuah jurnal kepadaku. Jurnal yang berbeda dari yang kau tunjukkan di Nagasaki.

“Sampai jumpa besok,” begitu katamu, lalu pergi dari sana meninggalkan aku yang masih berdiri terpaku.

Aku membuka jurnal yang kau berikan. Penuh dengan wajahku, yang tidak semuanya tertutup kamera Rossa.

Halaman pertama dimulai 2 tahun yang lalu.

Singapura. Entah mengapa, wanita ini tidak hanya mengambil gambar, tapi dia juga mengambil perhatianku.

Bangkok, Thailand. Apa aku bermimpi? Apa kamera ini menemukan pasangannya? Tapi ini berbeda dengan kisah Rossa dan Andre yang kudengar di Italia.

Kathmandu, Nepal. Mengapa wanita ini ada dimana-mana?

Busan, Korea Selatan. Hanya memperhatikannya dari jauh.

Hong Kong. Dia juga melihatku disana, tapi aku tidak terlalu yakin.

Paris, Perancis. Aku menemukan jurnal aneh di pasar loak. Serupa dengan perjumpaan kami. Dua kali untuknya, berkali-kali untukku.

Kairo, Mesir. Mungkin dia tidak mengikutiku, tapi lebih seperti aku yang mengikutinya.

Petra, Yordania. Mungkin hatiku yang membawaku kemanapun wanita ini pergi.

Birmingham, Inggris. Mungkin aku gila.

Nagasaki, Jepang. Namanya Lyra, yang dia miliki benar adalah kamera Rossa, dan aku akan menunggu jawaban YA itu.

Dubai, UAE. Aku masih menunggu.

Muscat, Oman. Menunggu.

Galle, Sri Lanka. Menunggu. Aku tidak tahu mengapa dia menjual kamera Rossa.

Guayaquil, Ecuador. Menunggu.

Sao Paulo, Brazil. Menunggu.

Yogyakarta, Indonesia. Menunggu.

BaoDing, Cina. Menunggu.

Tanpa foto: Macau, Cina.

 

Apakah aku hanya menunda waktu ini? Aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Apakah aku bahagia? Apakah aku sedih? Apakah aku menyesal? Apakah aku hanya ingin menghindar dari kepastian? Apa aku psikopat?

Jurnal itu kuletakkan rapi diatas meja. Aku membukanya sekali lagi dan memandangi fotomu halaman demi halaman. Aku tidak pernah mengerti mengapa kita selalu bertemu. Aku membuat jurnal ini karena kau juga menyita perhatianku begitu besar. Mungkin tanpa kita sadari, kita berdua adalah psikopat. Dua orang psikopat yang tidak mau saling mengaku. Atau hanya aku sendiri yang belum mau mengakuinya.

LIMA BELAS TAHUN

Setelah lewat sembilan tahun, baru kali ini kita menghabiskan waktu duduk di sebuah kafe hanya berdua.

“Nggak terasa ya, kita sudah berteman hampir sepuluh tahun,” katamu.

“Iya juga…” aku menyantap sesendok besar froyo kesukaanku.

“Pernah kepikiran nggak kalau selama ini kita sama sekali belum pernah ngobrol atau pergi bareng?”

“Kamu sibuk sama mantanmu terus sih… ups…”

Kamu tertawa. Sembilan tahun berlalu dengan hanya mengenal sebatas nama karena kita kuliah bersama. Aku sudah lulus tiga tahun lalu dan menjadi wanita kantoran, sedangkan kamu baru akan wisuda karena terlalu asyik merintis sebuah tempat kursus komputer. Aku tidak pernah menyangka bahwa kita akan duduk berdua disini, membicarakan entah apa, yang entah dimulai dari mana pula.

“Tadinya aku pikir kamu tuh serius banget,” kataku.

“Ternyata…?”

“Sinting.”

Kau tertawa lagi. Kita mulai membahas percakapan gila kita di IM beberapa bulan terakhir ini sebelum akhirnya kita pergi ke gereja bersama. Mungkin setelah tahu bahwa aku juga sudah putus dari pacarku yang sangat posesif itu, baru kamu berani mengajakku keluar.

“Apa fans-fansmu itu bakal bubar ya kalau tahu kamu kayak gini?”

“Fans apaan?” sekali lagi kamu tertawa lepas. Lesung pipitmu tampak begitu jelas.

“Ah pura-pura nggak tahu. Waktu kamu datang ke kost-ku, lihat nggak tuh cewek-cewek semua pada keluar dari kamarnya?”

“Masa sih? Pada kepanasan kali…”

Aku mencibir. Hampir semua anak kost-ku kuliah di kampus yang sama dengan kita, dan hampir semuanya kursus di tempatmu. Setiap kali aku pergi bersamamu, mereka menungguku di kost untuk bertanya tentang kamu.

“Datang ya wisudaanku bulan depan,” katamu.

“Siap lah, kan Sabtu aku libur.”

“Bawa bunga ya.”

“Idih… aku bawain coklat jago aja mau?”

“Boleh, boleh.. lima biji ya.”

“Yeee… ngelunjak deh.”

 

Setahun setelah wisudamu, kita belum pernah bertemu lagi. Hanya kadang saling kontak lewat IM. Tidak ada yang istimewa. Anak-anak kost-ku masih menanyakan kabarmu dan mengapa kamu tidak pernah datang lagi. Mereka mengira kita pacaran karena kita terlihat dekat selama beberapa bulan sebelum kamu pulang ke Jakarta setelah wisuda.

Sampai suatu hari kamu tiba-tiba mengirim pesan lewat IM. Kamu meminta bantuanku untuk mengurus terjemahan ijazah dan transkrip nilai di kampus. Kamu ingin mencoba melamar pekerjaan di luar negeri. Aku tahu bahwa beberapa teman dekatmu masih disini, tapi kamu memilih meminta tolong padaku. Spontanitasmu sudah tidak terlalu asing lagi bagiku. Kamu hampir selalu seperti itu. Siapapun yang terlintas dalam pikiranmu bisa saja menjadi korban.

Sekali lagi aku datang ke kampus untuk mengurus berkas-berkasmu. Salah seorang staf masih mengingat kita dan bertanya apa kita pacaran. Aku hanya tertawa dan menjelaskan bahwa aku hanya kebetulan saja menjadi korbanmu. Aku hampir tidak bisa membayangkan kalau kita benar pacaran.

Tidak lama setelah itu, kamu sudah ada di Auckland. Kamu bilang hanya ingin mencoba bekerja setahun disana. Aku minta dibawakan koala saat kamu pulang, tapi ini sudah tahun ketiga dan kita belum pernah bertemu lagi. Aku hanya melihatmu lewat Facebook. Kamu sepertinya sangat menikmati hari-harimu disana. Aku juga tidak memata-matai kegiatanmu, tapi kadang kamu muncul dengan ratusan foto liburan.

Sekarang aku sedang melangkahkan kaki menuju empat puluh negara. Ini negara kelimabelas yang aku kunjungi. Aku masih ingat beberapa tahun lalu kita berencana menjadi backpackers bersama ke Eropa. Entah itu hanya sekedar obrolan karena tidak ada bahan pembicaraan, atau sesuatu yang sedang benar-benar kita usahakan. Aku bekerja dan menghabiskan uangku untuk traveling. Wanita dewasa yang tidak punya tabungan untuk masa depan. Setidaknya aku menabung pengalaman dari banyak negara.

Aku melihat di newsfeed bahwa kamu pulang ke Jakarta. Aku juga ingin pulang, tapi kontrakku masih 18 bulan. Waktu aku mengomentarinya, kamu hanya bilang bahwa kita harus bertemu lagi untuk saling bercerita pengalaman kita. Entah kapan.

 

Begitulah setelah lima belas tahun, kita kembali bertemu di sebuah kafe hanya berdua.

“Lima belas tahun nih,” kamu menyeruput kopimu.

“Hmm… yang aku ingat tentang kamu cuma coklat jago sama koala… mana koalaku?”

“Hahaha… maaf, aku lupa.”

“Huh, memang dasar nggak niat ngasih.”

“Kan aku Cina pelit.”

“Lebih pelit dari aku ya ternyata.”

Hening sejenak. Aku bisa melihat senyuman tipis yang tampak aneh di wajahmu. Aku ingin bertanya, tapi aku tidak ingin mendengar jawabannya. Jadi aku memilih untuk tetap diam. Kita melanjutkan cerita perjalanan kita di negara-negara asing. Kita tertawa, kita serius, kita membunuh waktu hingga siang sudah berganti malam. Kita berjalan di kota yang lima belas tahun lalu tidak seramai ini melewati kampus kita, mendengar sayup-sayup suara persekutuan mahasiswa dari kapel. Kita merindukannya.

Kita duduk di alun-alun selatan dan melanjutkan cerita hidup kita. Tanpa terasa pagi menjelang. Kamu harus berangkat kembali ke Jakarta sebentar lagi.

“Ke Bali yuk,” kamu masih tampak begitu penuh energi.

“Hah?”

“Daripada pulang ke Jakarta, kayaknya aku lebih pengen ke Bali. Ikut yuk!”

“Kamu memang sinting ya.”

“Aku tahu. Makanya biar nggak sinting sendirian, aku ngajak kamu.”

Spontanitasmu sepertinya bergerak dinamis dengan naluri petualangku kali ini.

 

Kita disana, memandangi matahari yang hampir terbenam di Tanah Lot. Kamu duduk di sampingku tanpa sepatah katapun. Aku sedang menikmati angin sepoi-sepoi dan teduhnya gazebo kecil ini saat aku menyadari bahwa kamu sedang memandangku. Aku balas memandangmu. Kamu tersenyum seraya mulai mengucapkan sebuah pertanyaan.

“Would you spend the rest of your life together with me?”

Kalimat itu tidak terdengar seperti spontanitas. Aku hampir tidak percaya.

“Marry me,” terdengar lebih seperti perintah.

 

Jadi setelah lima belas tahun, kita memutuskan untuk melanjutkan kisah perjalanan hidup kita bersama.

MOMENTUM

Aiko

Sore itu aku melihat balon pink di rambut pirang di dekat air mancur saat aku berjalan menuju McD Senado Square. Aku langsung melihat sekeliling si rambut pirang dan menemukan sekelompok orang yang sangat tidak asing lagi bagiku. Teman-temanku sedang berbaik hati membagikan balon gratis dalam berbagai bentuk. Bukan hanya untuk anak-anak, tapi juga untuk siapapun yang tertarik.

Aku hampir tidak melihatmu karena sibuk memeluk teman-teman yang lain. Kemudian aku menyadari bahwa kau ada disana. Waktu pandangan mata kita beradu, secara otomatis tanganmu menyodorkan balon berbentuk bunga kepadaku. Tanpa mengalihkan pandangan mata kita, aku menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Aku ingin memelukmu seperti biasanya, tapi terpaksa aku beraksi karena teman-teman lain mulai mengajak berfoto.

Sudah berbulan-bulan kita bekerja bersama. Aku sering memerhatikanmu dan aku sangat bangga memiliki seorang teman yang patut dicontoh sepertimu. Sikapmu sangat positif sekaligus tegas. Walaupun kadang kau terlihat bodoh, tapi aku bisa melihat ketulusan dan kebaikan hatimu.

Aku selalu ingat gurauan konyol kita waktu kita sedang kelelahan bekerja. Aku ingat setiap percakapan tengah malam kita tentang hidup ditemani secangkir blueberry milk buatanmu. Aku ingat setiap kata-kata semangat dan kehangatan persahabatan yang selalu kau tebarkan. Aku menyayangimu seperti saudaraku sendiri. Aku tidak pernah segan memamerkanmu pada orang lain, karena menurutku kau memang pria paling tampan di tempat kerja. Sangat subyektif dan tanpa ampun terhadap pria-pria lain, tapi aku tidak peduli.

Aku tidak tahu sejak kapan kau sering tiba-tiba ada di dekatku dan menyanyi. Kadang kau melontarkan kalimat aneh yang membuatku tertawa terbahak-bahak. Tidak jarang juga kau memandangiku dan memanggil namaku, lalu kabur. Entah kapan aku mulai menganggapnya istimewa. Entah kapan aku selalu mencarimu jika kau menghilang barang sehari saja.

Mungkin aku sedang jatuh cinta.

 

James

Aku melihatmu dari jauh, berjalan ke arahku. Kau terlihat lebih cantik sore ini. Sepertinya kau juga merasakan romantisnya suasana di Senado Square. Aku cepat-cepat menyelesaikan balon bungaku supaya aku bisa memberikannya padamu.

Kupikir kau akan menyapaku lebih dulu sebelum menyapa teman-teman lain, tapi sepertinya kau tidak melihatku. Sampai akhirnya pandangan mata kita beradu, aku menyodorkan bunga buatanku. Kau menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Senyumanmu memang tidak ada tandingannya. Sayangnya setelah itu kau sibuk berfoto. Padahal aku berharap bisa memelukmu sekali lagi setelah dua hari tidak bertemu.

Menemukanmu di tempat kerja seperti menemukan sebongkah berlian tanpa seorangpun mengetahuinya. Kau begitu apa adanya dan tidak berusaha menutup-nutupi kekuranganmu. Kau sangat berbeda dengan semua wanita yang pernah kutemui. Kau sangat lemah lembut sekaligus kuat.

Aku ingin selalu membuatmu tersenyum sekalipun aku akan terlihat begitu bodoh. Aku rela membuat blueberry milk setiap hari demi mendengarkan kisahmu. Aku ingin selalu menjagamu. Aku hampir gila karena senang saat kau terus mengatakan bahwa aku adalah pria paling tampan. Kau membuatku semakin menyayangimu setiap hari. Aku tidak ingin jauh darimu lagi.

Aku harap kau juga jatuh cinta padaku.