LIMA BELAS TAHUN

Setelah lewat sembilan tahun, baru kali ini kita menghabiskan waktu duduk di sebuah kafe hanya berdua.

“Nggak terasa ya, kita sudah berteman hampir sepuluh tahun,” katamu.

“Iya juga…” aku menyantap sesendok besar froyo kesukaanku.

“Pernah kepikiran nggak kalau selama ini kita sama sekali belum pernah ngobrol atau pergi bareng?”

“Kamu sibuk sama mantanmu terus sih… ups…”

Kamu tertawa. Sembilan tahun berlalu dengan hanya mengenal sebatas nama karena kita kuliah bersama. Aku sudah lulus tiga tahun lalu dan menjadi wanita kantoran, sedangkan kamu baru akan wisuda karena terlalu asyik merintis sebuah tempat kursus komputer. Aku tidak pernah menyangka bahwa kita akan duduk berdua disini, membicarakan entah apa, yang entah dimulai dari mana pula.

“Tadinya aku pikir kamu tuh serius banget,” kataku.

“Ternyata…?”

“Sinting.”

Kau tertawa lagi. Kita mulai membahas percakapan gila kita di IM beberapa bulan terakhir ini sebelum akhirnya kita pergi ke gereja bersama. Mungkin setelah tahu bahwa aku juga sudah putus dari pacarku yang sangat posesif itu, baru kamu berani mengajakku keluar.

“Apa fans-fansmu itu bakal bubar ya kalau tahu kamu kayak gini?”

“Fans apaan?” sekali lagi kamu tertawa lepas. Lesung pipitmu tampak begitu jelas.

“Ah pura-pura nggak tahu. Waktu kamu datang ke kost-ku, lihat nggak tuh cewek-cewek semua pada keluar dari kamarnya?”

“Masa sih? Pada kepanasan kali…”

Aku mencibir. Hampir semua anak kost-ku kuliah di kampus yang sama dengan kita, dan hampir semuanya kursus di tempatmu. Setiap kali aku pergi bersamamu, mereka menungguku di kost untuk bertanya tentang kamu.

“Datang ya wisudaanku bulan depan,” katamu.

“Siap lah, kan Sabtu aku libur.”

“Bawa bunga ya.”

“Idih… aku bawain coklat jago aja mau?”

“Boleh, boleh.. lima biji ya.”

“Yeee… ngelunjak deh.”

 

Setahun setelah wisudamu, kita belum pernah bertemu lagi. Hanya kadang saling kontak lewat IM. Tidak ada yang istimewa. Anak-anak kost-ku masih menanyakan kabarmu dan mengapa kamu tidak pernah datang lagi. Mereka mengira kita pacaran karena kita terlihat dekat selama beberapa bulan sebelum kamu pulang ke Jakarta setelah wisuda.

Sampai suatu hari kamu tiba-tiba mengirim pesan lewat IM. Kamu meminta bantuanku untuk mengurus terjemahan ijazah dan transkrip nilai di kampus. Kamu ingin mencoba melamar pekerjaan di luar negeri. Aku tahu bahwa beberapa teman dekatmu masih disini, tapi kamu memilih meminta tolong padaku. Spontanitasmu sudah tidak terlalu asing lagi bagiku. Kamu hampir selalu seperti itu. Siapapun yang terlintas dalam pikiranmu bisa saja menjadi korban.

Sekali lagi aku datang ke kampus untuk mengurus berkas-berkasmu. Salah seorang staf masih mengingat kita dan bertanya apa kita pacaran. Aku hanya tertawa dan menjelaskan bahwa aku hanya kebetulan saja menjadi korbanmu. Aku hampir tidak bisa membayangkan kalau kita benar pacaran.

Tidak lama setelah itu, kamu sudah ada di Auckland. Kamu bilang hanya ingin mencoba bekerja setahun disana. Aku minta dibawakan koala saat kamu pulang, tapi ini sudah tahun ketiga dan kita belum pernah bertemu lagi. Aku hanya melihatmu lewat Facebook. Kamu sepertinya sangat menikmati hari-harimu disana. Aku juga tidak memata-matai kegiatanmu, tapi kadang kamu muncul dengan ratusan foto liburan.

Sekarang aku sedang melangkahkan kaki menuju empat puluh negara. Ini negara kelimabelas yang aku kunjungi. Aku masih ingat beberapa tahun lalu kita berencana menjadi backpackers bersama ke Eropa. Entah itu hanya sekedar obrolan karena tidak ada bahan pembicaraan, atau sesuatu yang sedang benar-benar kita usahakan. Aku bekerja dan menghabiskan uangku untuk traveling. Wanita dewasa yang tidak punya tabungan untuk masa depan. Setidaknya aku menabung pengalaman dari banyak negara.

Aku melihat di newsfeed bahwa kamu pulang ke Jakarta. Aku juga ingin pulang, tapi kontrakku masih 18 bulan. Waktu aku mengomentarinya, kamu hanya bilang bahwa kita harus bertemu lagi untuk saling bercerita pengalaman kita. Entah kapan.

 

Begitulah setelah lima belas tahun, kita kembali bertemu di sebuah kafe hanya berdua.

“Lima belas tahun nih,” kamu menyeruput kopimu.

“Hmm… yang aku ingat tentang kamu cuma coklat jago sama koala… mana koalaku?”

“Hahaha… maaf, aku lupa.”

“Huh, memang dasar nggak niat ngasih.”

“Kan aku Cina pelit.”

“Lebih pelit dari aku ya ternyata.”

Hening sejenak. Aku bisa melihat senyuman tipis yang tampak aneh di wajahmu. Aku ingin bertanya, tapi aku tidak ingin mendengar jawabannya. Jadi aku memilih untuk tetap diam. Kita melanjutkan cerita perjalanan kita di negara-negara asing. Kita tertawa, kita serius, kita membunuh waktu hingga siang sudah berganti malam. Kita berjalan di kota yang lima belas tahun lalu tidak seramai ini melewati kampus kita, mendengar sayup-sayup suara persekutuan mahasiswa dari kapel. Kita merindukannya.

Kita duduk di alun-alun selatan dan melanjutkan cerita hidup kita. Tanpa terasa pagi menjelang. Kamu harus berangkat kembali ke Jakarta sebentar lagi.

“Ke Bali yuk,” kamu masih tampak begitu penuh energi.

“Hah?”

“Daripada pulang ke Jakarta, kayaknya aku lebih pengen ke Bali. Ikut yuk!”

“Kamu memang sinting ya.”

“Aku tahu. Makanya biar nggak sinting sendirian, aku ngajak kamu.”

Spontanitasmu sepertinya bergerak dinamis dengan naluri petualangku kali ini.

 

Kita disana, memandangi matahari yang hampir terbenam di Tanah Lot. Kamu duduk di sampingku tanpa sepatah katapun. Aku sedang menikmati angin sepoi-sepoi dan teduhnya gazebo kecil ini saat aku menyadari bahwa kamu sedang memandangku. Aku balas memandangmu. Kamu tersenyum seraya mulai mengucapkan sebuah pertanyaan.

“Would you spend the rest of your life together with me?”

Kalimat itu tidak terdengar seperti spontanitas. Aku hampir tidak percaya.

“Marry me,” terdengar lebih seperti perintah.

 

Jadi setelah lima belas tahun, kita memutuskan untuk melanjutkan kisah perjalanan hidup kita bersama.

Leave a comment