Wherever You Are

Gerimis masih sedikit demi sedikit mengguyur kita. Di dataran tinggi dengan suhu hampir nol dan mulai tertutup kabut ini, kita masih harus menempuh perjalanan sekitar tujuh kilometer. Sudah hampir mustahil menemukan truk sayur milik penduduk lokal yang bisa mengangkut kita kembali ke penginapan. Di kanan kiri kita hanya terlihat lembah-lembah kebun sayur dan gundukan-gundukan kotoran hewan yang digunakan sebagai pupuk kandang.

Kau tersenyum, lebih mirip menyeringai, tapi aku bisa melihat kegembiraan yang terlihat kekanak-kanakan di matamu.

“Kenapa… kamu mau ikut berpetualang bersamaku?” kau bertanya.

Aku sedikit terkejut. Sepertinya keningku berkerut karena bingung. “Bukannya kita sudah melakukannya bersama sejak berjuta-juta tahun yang lalu?”

Kali ini kau tertawa terbahak-bahak. Hal yang sangat jarang terjadi. Kau membungkuk dan menahan berat tubuhmu dengan memegang kedua lututmu. Aku melihat celana dan sepatu boot-mu yang berlumpur. Pemandangan yang tidak asing lagi bagi kedua mataku.

“Kamu demam ya?” aku menaruh punggung tanganku di keningmu. Kau meraih tanganku dan tidak melepaskannya lagi.

“Kamu… memang tidak ada duanya, tuan putri,” kau mengecup tanganku.

Jantungku mulai berdebar kencang. Aku berusaha mengendalikan diri karena kita sudah berteman sejak kita baru lahir. Aku merasakan cincin tunanganmu menonjol dan lebih dingin dari kulit tanganku. Beberapa bulan lagi kau akan menikah. Dengan seorang wanita yang lebih feminin dariku. Yang bisa menjadi ibu rumah tangga. Yang bisa mengurus anak-anak dan menunggumu pulang kerja setiap sore. Tidak seperti aku, yang hampir tidak mengenal kata rumah. Rumahku adalah kemanapun aku pergi. Aku menelan ludah, seperti menelan kecemburuanku.

“Mia, aku… “

Kau mulai melangkah perlahan. Aku mengikutimu, menunggumu meneruskan kalimatmu.

“.. aku berpikir, kalau aku menikah dengan Ana, mungkin hidupku akan jadi biasa saja. Kerja kantoran, pulang, menghabiskan waktu dengan keluarga di rumah… hidup yang benar-benar ingin aku hindari karena terdengar sangat membosankan.”

Aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Aku sangat mengenalmu. Kau punya cukup banyak stok adrenalin untuk dihamburkan. Pekerjaanmu sebagai freelancer di sebuah majalah olahraga ekstrim membuatmu dapat bergerak bebas sekaligus mendapat penghasilan. Waktu kau memutuskan untuk melamar Ana, kau berkata bahwa Ana akan jadi istri yang sempurna. Dia keibuan, pandai memasak dan mengurus rumah, terlebih lagi orang tuamu mengenal orang tua Ana. Lagipula, kau sendiri yang mendekati Ana, bukan acara perjodohan orang tuamu.

Aku mendengarmu menghela napas cukup keras. “Mia… aku berpikir… mungkin kalau aku menikah denganmu, kita bisa tetap berpetualang bersama. Dengan anak-anak juga. Kita bisa merain impian kita bersama. Impianku menjadi fotografer profesional, dan impianmu menjadi jurnalis.”

Kalimat itu menggodaku untuk berkomentar miring karena aku juga menginginkannya. Setelah sepersekian detik, akal sehatku membuatku tidak melakukannya.

“Ron, kamu sudah bertunangan. Keputusan selalu diikuti konsekuensi. Tidak usah berpikir macam-macam lagi,” kataku akhirnya.

“Sangat khas Mia,” kau tersenyum lebar, “terima kasih. Ya, kamu benar. Aku harus bertanggungjawab terhadap Ana dan keluarga kami.”

Lima kilometer berikutnya kita berjalan tanpa kata. Gerimis mulai berhenti. Aku membuka tudung jas hujanku, lalu menenggak persediaan air minumku yang semakin menipis. Aku memandangi punggungmu yang lebar. Warna jaketmu sudah memudar dari aslinya. Selama dua puluh enam tahun kita melakukan ritual rutin untuk berpetualang bersama. Mulai dari tur ke kebun binatang waktu kita masih TK, tur ke planetarium waktu kita SMA, orientasi pecinta alam yang terkesan kejam waktu kita kuliah, uji coba hitchhiking dari ujung ke ujung pulau Jawa setelah lulus kuliah, hingga hari ini kita sedang berada di antah berantah di Tibet.

Aku menyadari bahwa setiap tahun, entah setelah kita berpencar tidak karuan ke berbagai belahan dunia, kita selalu menyempatkan diri untuk pergi bersama. Aku juga menyadari bahwa sejak lima tahun lalu, Ana selalu cemburu padaku walaupun dia selalu tampak ramah waktu menanyakan petualangan kita. Ana tidak pernah mau ikut karena Ana tidak suka jalan kaki, tidak suka hujan, tidak suka lumpur, tidak suka kedinginan, tidak suka kepanasan, dan banyak tidak suka yang lainnya. Singkatnya, Ana sama sekali bukan petualang. Tapi Ana sepertinya mendukungmu. Ana bisa menjadi istri yang sempurna untukmu.

Kalian akan tinggal di sebuah rumah di kota. Kamu harus melupakan rumah di tepi sebuah tebing yang menghadap laut. Ana tidak akan memanjat tebing untuk masuk ke rumah. Setidaknya kamu akan punya tempat untuk pulang. Tidak seperti sekarang, sama seperti aku.

Mungkin ini akan menjadi petualangan kita yang terakhir.

 

Aku memandang diriku memakai gaun satin biru muda di cermin. Aku siap menghadiri resepsi pernikahan Ron dan Ana. Aku berlatih berkali-kali untuk mengucapkan pidato di resepsi nanti. Semoga aku tidak tiba-tiba menangis dan membuat maskaraku luntur sehingga aku terlihat seperti shinigami bergaun biru. Aku sudah menangis dua hari yang lalu, jadi seharusnya aku akan baik-baik saja.

Aku mendengar suara tamu-tamu yang mulai berdatangan di pesta kebun di halaman rumah Ron ini. Aku mengatur napasku, membenahi tatanan rambut, lalu melangkah keluar dari kamar mandi. Ron berlari-lari melambaikan tangan ke arahku. Dia tampak panik.

“Mia!” Ron menahan suaranya supaya tidak terdengar oleh para tamu undangan.

“Kenapa?” tanyaku

“Ana… sepertinya ingin berubah pikiran.”

“Oh, no! Kenapa sekarang? Dimana dia?”

“Di kamar tamu.”

Aku meninggalkan Ron yang disapa oleh beberapa tamu.

Pintu kamar tamu sedikit terbuka. Beberapa orang mengintip, termasuk ibu dan beberapa kerabat Ana, tapi sama sekali tidak ada yang masuk.

“Ada apa?” aku berbisik

“Ana mengusir kami semua.”

Aku memberanikan diri masuk, lalu menutup pintu kamar. Ana menoleh, seperti ingin marah, tapi kemudian hanya kembali memandangi lantai. Aku duduk di sebelahnya, memegang tangannya yang gemetaran. Ana mulai menangis sesenggukan. Aku serabutan meraih tisu dan memberikannya pada Ana.

“Mia… apa Ron benar mencintai aku?” suaranya seperti mengerang menahan sakit.

Aku ingin melontarkan teoriku bahwa cinta adalah sebuah keputusan. Cinta harus dijaga supaya tetap bertumbuh. Tapi kelihatannya mengucapkan teori ini sama sekali tidak akan membuat situasi menjadi baik.

“Kalau dia tidak cinta, dia tidak akan melamarmu,” jawabku.

Ana memandangku. Dia sudah agak tenang. Aku tersenyum, menggenggam tangannya lebih erat.

“Tapi sepertinya dia lebih cinta pada impiannya. Aku takut dia pergi meninggalkanku karena aku tidak suka berpetualang. Aku tidak seperti kamu, Mia…” Ana menangis lagi.

“Ana… kalian sudah bersama selama lima tahun. Apa pernah dia tidak kembali padamu? Ana, kemanapun Ron pergi, dimana kamu berada adalah tempatnya untuk pulang.”

Tangis Ana berhenti perlahan-lahan. Dia menghapus air matanya, lalu memelukku cukup lama. Kali ini aku yang ingin menangis. Aku sedang meyakinkan seorang wanita untuk menikahi orang yang sangat aku cintai. Untung saja seseorang mengetuk pintu dan menginformasikan bahwa sebentar lagi Ana harus siap.

Prosesi pernikahan berjalan lancar. Semua orang bahagia. Ron mengedipkan mata dan mengacungkan jempol padaku. Dia terlihat lebih dewasa sekalipun masih melakukan hal konyol.

Suatu hari nanti, aku juga akan menemukan tempatku untuk pulang. Suatu hari nanti, aku juga akan bisa berkata pada seseorang, “home is wherever you are.”