BOLD dan ITALIC

BOLD dan ITALIC

[perhatian: membutuhkan konsentrasi]

 

Whenever I look to the night sky through my window, I wonder if you will find me.

Whenever I see the vapour of my breath in the cold, I wonder if I will be able to warm your heart to melt the frost of your winter.

Whenever I walk by myself in the crowd, I wonder when I can hold your hand tight and never let go.

 

You, the outstanding among all, are waiting there to be found.

Physical attraction is for the ordinary, but the beauty of your soul captivates me in spring time.

Hold my hand, love, and I will never let go.

 

 

 “Pagi!” sapaku.

“Pagi. Apa kabarmu hari ini?” tanyaku.

“Dingin! Kamu?”

“Baik-baik saja, sepertinya…”

“Hey,” aku mengecilkan volume suaraku, “apa kamu ingat nama semua orang di kantor? Aku ingin menyapa seorang yang selalu naik bus yang sama, tapi takut salah nama.”

“Nope. Aku cuma ingat nama-nama orang yang aku perlu ingat. Yang kira-kira akan aku butuhkan dalam pekerjaan.”

“Bagaimana kamu tahu kalau suatu hari kamu akan membutuhkan mereka?”

Aku hanya bisa menengadahkan tangan tanda aku tidak tahu, “mungkin kamu harus ganti jam naik bus supaya tidak bertemu dengannya lagi.”

Aku meringis jelek sekali tanda tidak setuju.

Claire memang orang yang peduli dengan orang lain. Berbeda denganku yang suka berpikir lebih praktis. Mungkin karena kepribadiannya yang cenderung sanguin. Selalu tersenyum, selalu menyapa setiap orang, selalu ada bahan pembicaraan.

Walaupun Peter sudah ada disini lebih lama, pasti dia hanya ingat 20% orang-orang kantor. Dia memang lebih bisa diandalkan untuk hal-hal yang lebih praktis daripada menghafal nama orang. Apa boleh buat, aku harus berusaha mencari tahu nama orang itu sendiri.

 

 

Pemilahan divisi di kantor itu membuat mereka duduk berhadapan dengan sekat-sekat di sekeliling mereka. Pekerjaan yang serupa membuat mereka sering harus berdekatan, berargumen, dan saling membantu. Kejenuhan musim dingin membuat mereka sering tiba-tiba membicarakan hal-hal bodoh untuk menertawakannya bersama.

Hari ini suhu tiba-tiba merosot hingga dibawah nol derajat Celcius sehingga banyak teman-teman kantor mereka memilih untuk bekerja dari rumah. Kantor yang biasanya agak sepi menjadi jauh lebih sepi.

“Hey, Claire!” panggil Peter.

“Hah?” Claire mendongak, mengalihkan pandangannya dari monitor ke arah Peter, yang duduk hanya 1 meter dihadapannya.

“Kamu sudah lihat ini?” Peter menyodorkan sebuah kalender meja. Disitu tercetak foto seorang perempuan kecil dan seorang laki-laki kecil yang chubby bersama seekor anjing.

Claire mengambilnya dari tangan Peter. “Ini kamu dan kakakmu?”

“Yep.”

Claire membandingkan Peter kecil dalam foto itu dengan Peter saat ini.

“Kenapa sekarang kamu bisa kurus tinggi menjulang begini?” tanya Claire.

“Hahaha… aku juga tidak tahu kenapa.”

 

Percakapan mereka mengalir begitu saja. Mulai dari gen, kucing, kura-kura, panjat tebing, hingga server.

 

Aku hanya mencari alasan untuk berbincang dengan Claire. Dia selalu punya komentar menarik yang membuatku merasa santai. Aku suka sekali dengan ekspresi wajahnya dan bahasa tubuhnya yang seperti film kartun.

Kadang aku merasa heran pada Peter. Dia sering memulai pembicaraan dengan topik yang sangat acak. Ini membuatku berpikir bahwa dia jauh dari reputasi orang-orang dari bagian selatan Inggris yang cenderung sangat cuek.

 

 

“Hey, Peter!” Claire berbisik.

“Hah?” Peter melepas headsetnya.

“Apa kamu familiar dengan Access? Aku sama sekali tidak pernah menggunakan Access, jadi aku tidak tahu bagaimana cara memilah data ini sebelum migrasi ke software baru. Ada 25.000 records dan ada beberapa tabel dengan ID duplikat, jadi tidak mungkin dikerjakan manual. Apa kamu bisa membantu?”

“Hmm… Coba aku lihat.”

Peter beranjak dari kursinya dan memutari sekat untuk duduk di samping Claire. Mereka memandangi monitor sementara Claire menjelaskan logikanya.

“Got it,” Peter menggeser keyboard di meja Claire.

Aku tidak mengerti Peter berbicara tentang apa sambil membuat queries dengan sql view. Raut wajahnya terlihat begitu santai, seperti ini hanya mainan saja. Kadang dia sekilas melihat ke arahku sambil menjelaskan fungsi query yang dia buat. Sesekali aku bisa mencium harum sabun saat dia bergerak. Aku sudah mulai tidak bisa berkonsentrasi pada database lagi. Aku memandangi rambut coklatnya yang agak berantakan. Memandangi mata hijaunya yang tampak cerdas di balik kacamata. Aku bisa mendengar suara nafasnya disela suara ketukan-ketukan keyboard. Dalam waktu 15 menit dia menyelesaikan semuanya, lalu tersenyum padaku. Dalam jarak yang hanya 30 centimeter dari wajahku, aku menyadari sesuatu. O, man, he’s possibly the most handsome geek I’ve ever seen!

“Thanks! Kamu memang jenius!” Claire menepuk pundak Peter.

Bukan hanya sekali ini aku bekerja berdekatan dengan Claire, tapi kantor yang sangat sepi membuatku agak gugup. Untung otakku masih bekerja dengan baik. Hanya saja sepertinya mulutku hampir tidak bisa berhenti berbicara untuk mengurangi rasa gugup. Walaupun aku tahu Claire tidak akan mengerti apa yang aku bicarakan. Setidaknya aku bisa membuat Claire terkesan dengan menyelesaikan pemilahan data dalam waktu cukup singkat.

 

 

“Hey, Claire!” Peter mengetukkan bolpen ke monitor Claire.

“Ya?” Claire berhenti mengetik.

“Kamu sedang apa?”

“Membuka Facebook,” Claire meringis.

“Apa rencanamu untuk liburan Natal?”

“Ngg… belum tahu. Kalalu kamu? Pulang?”

“Pastinya. Kamu mau ikut?”

“Ke rumahmu?”

“Iya. You’re always welcome. Kalau kamu mau, but no pressure. Think about it and let me know.”

Sepertinya akan sangat menarik kalau aku bisa merasakan Natal pertamaku di Inggris dengan tata cara lokal. Di rumah Peter… Di rumah Peter… wow, pasti jadi sesuatu yang tak terlupakan. Selain aku tidak ingin sendirian saat Natal, aku juga tidak ingin menolak tawarannya

Great! What do I do now? Bagaimana kalau dia mengiyakan? Aku bisa salah tingkah setengah mati.

 

 

“Hey, Peter!”

“Ya?”

“Kupikir aku akan ikut kamu untuk liburan Natal.”

“Great! I will book the tickets then,” Peter tersenyum.

“Thanks,” Claire balas tersenyum, “biasanya orang membawa apa kalau bertamu?”

“Tidak usah repot-repot. Keluargaku tahu kalau kita relawan-relawan miskin.”

“It’s against my culture. Walaupun miskin aku tetap harus sopan membawakan sesuatu.”

“Wine?”

“Perfect. I hope they don’t mind to have cheap wine. Hahaha.”

 

 

Liburan Natal.

Dua minggu. Dua minggu di rumah Peter. Akhirnya aku menyaksikan semua kisah yang diceritakan Peter di kantor hidup di sekelilingku. Kehangatan keluarga ini, kekocakan adiknya, bahkan kucingnya yang selalu membuatku bersin, semua seperti mimpi yang menjadi nyata.

Claire semakin terlihat berkilauan. Ada sesuatu dari dirinya yang membuatku ingin selalu berdekatan dengannya.  

 

“Claire, aku mau jalan-jalan sebentar di danau dekat sini. Ikut?” Peter muncul di depan pintu kamar tamu.

“Ikut! Tunggu,” Claire menyambar sweaternya dan menutup pintu kamar.

Mereka berjalan berdampingan di jalan setapak di tepi danau.

“Apa orang Asia selalu berjalan lambat sekali?” Peter menggoda Claire.

“Shut up, Peter,” Claire menonjok lengan Peter, “kakimu yang terlalu panjang!”

 

 

“Stop, stop,” Claire menahan Peter.

“What?”

“Sunset. Lihat warnanya indah sekali,” Claire menunjuk pantulan jingga matahari di permukaan air, dilatari lembayung langit dan bukit-bukit hijau dengan beberapa pohon yang sudah meranggas. Beberapa ekor bebek masih berenang dan menyelam mencari makan.

Peter berhenti, ikut menikmati pemandangan yang tidak biasa di musim dingin itu. Mereka berdiri terdiam disana. Uap panas nafas mereka semakin tampak jelas di udara yang semakin dingin.

“Peter, terima kasih,” Claire tersenyum, “liburan Natal kali ini sangat berkesan.”

“My pleasure,” Peter balas tersenyum.

 

 

I don’t know what I was thinking, but I held out my hand to Claire.

I reached out my hand to Peter’s like my heart already knew it long time ago.

 

 

Dan mereka berjalan pulang bergandengan tangan.

 

 

You finally found me. Please don’t let go.

No, I won’t.

 

– was listening to Dance with Me by Jesus Culture. Decided not to write any climax –

Place me like a seal over your heart, like a seal on your arm; for love is as strong as death, its jealousy unyielding as the grave. It burns like blazing fire, like a mighty flame. (Song of Songs 8:6)

Leave a comment