Oh, my warrior in shining armor, please ride your white horse to find me quick!
Bandara Husein Sastranegara, Bandung.
Aku celingukan mencari Vina, sahabatku, yang katanya akan datang menjemput. Diantara semrawutnya manusia disini, aku yakin Vina pasti terlihat.
“Cleo!!” suara menggelegar itu sudah pasti Vina.
Aku melambaikan tangan dan berjalan ke arah Vina yang sudah jejingkrakan menyambutku.
“Buuuu… kumel amat loooo??” katanya seraya memelukku, “welcome back!”
“Thank you, bu, tapi tolong ya volume suaranya,” bisikku, sungkan dengan sekeliling.
“Oh iya, lupa gue.. Gila lo dari Jepang apa dari Bromo sih, bu? Item dekil begini?”
“Namanya juga abis summer holiday. Host gue buka warung di pantai. Jadilah gue bantuin jualan.”
“Oooo… Gue kira disana cuma ada gunung Fuji sama salju. Hahaha.. ternyata ada tukang jualan pula di pantai…”
Lalu seperti biasa Vina mulai nyerocos tidak karuan sepanjang jalan. Badanku yang lelah membuat pikiranku tidak fokus. Aku setengah mendengarkan Vina, setengah lagi membayangkan segala jenis makanan Indonesia yang kurindukan setelah 2 tahun lebih tidak pulang.
Ciumbuleuit. Suhu udara disini jadi terasa terlalu dingin buatku yang tadinya tinggal di area 35-40 derajat Celcius. Seperti biasanya, rumah ini masih terasa terlalu besar untuk kutinggali sendirian. Baru saja aku mengganti SIM Card lokal dan mengupdate nomor WhatsApp, tiba-tiba ada telepon masuk.
“Halo?” aku ragu-ragu tapi kuangkat juga.
“Halo, selamat siang, bisa bicara dengan ibu Cleo Victoria Irawan?”
“Iya saya sendiri,” kataku sambil bertanya-tanya mengapa dia tahu nama lengkapku.
“Ibu Cleo, apa kabar?” suara seorang pria yang sepertinya aku kenal.
“Baik… tapi ini siapa ya?”
“Lo kagak bisa nebak ini siapa, mpookkk?”
“Buset, tumben amat lo nelpon, bang bang tut?”
“Hahaha… belom lupa lo sama gue ya. Kemana aja looo? Ngomong-ngomong lo dimana sekarang?” ternyata Harris, teman lamaku.
“Lagi di Bandung nih.”
“Eh beneran lo di Bandung? Gue juga! Ketemuan yuk.”
“Hahaha… serius lo? Kapan?”
“Sekarang lah. Gue kangen berat. Ke BIP yuk, naik angkot.”
“Gila ya lo mah kagak berubah nongkrongnya ke BIP mulu. Ogah gue, yang deket sini aja.”
“Ya udah dimana aja deh, mpok. Pokoknya gue samperin naik angkottt.”
Jadilah aku janjian bertemu Harris dalam 1 jam di kafe dekat rumah. Kami sudah berteman belasan tahun. Terakhir aku bertemu dengannya 10 tahun lalu di Jogja. Beberapa tahun setelah itu dia menemukanku di Facebook dan kami bertukar nomor kontak WhatsApp. Terakhir aku mendengar kabarnya saat dia akan menikah sekitar 5 tahun lalu, tapi waktu itu aku harus pergi ke Inggris.
Sebenarnya aku malas keluar rumah karena masih lelah, tapi Harris harus kembali ke Jakarta besok. Dan lagi, sekalipun dia teman lama, dia adalah suami seseorang. Selain itu, dia sempat meneleponku sebelum dia menikah, menyatakan bahwa aku adalah cinta pertamanya.
Ah, sudahlah…
Aku bersiap-siap berangkat. Saat sekilas aku melihat cermin, aku terhenti dan berkaca. Benar kata Vina. Aku terlihat kumal. Di wajahku juga mulai terlihat garis-garis halus tanda penuaan. Kupegang pipiku, perutku, lenganku… timbunan lemak! Mungkin Harris tidak akan mengenaliku lagi.
Teleponku berbunyi saat aku berjalan ke kafe.
“Gue udah sampe ye, mpok,” kata Harris, “gue tunggu di luar aja gitu? Apa di dalem?”
“Di luar aja. Gue beberapa langkah lagi nyampe.”
“OK! See you.”
Aku melangkah memasuki area kafe.
“Cleo!” Harris menyambutku dengan super ramah.
Aku agak merasa canggung, tapi akhirnya kami duduk bersebelahan.
“Akhirnya setelah berapa taon ya kita ketemu lagi, “kata Harris kemudian memandangiku beberapa saat, “lo tetep cantik aja, mpok.”
“Hahaha… makasih. Padahal Vina bilang gue dekil banget.”
“Gak kok, lo malah makin cantik kata gue sih.. Aduh, gue masih deg-degan aja kalo deket lo. Gue pindah ah,” Harris pindah ke kursi di hadapanku, “nah, kalo gini kan lebih enak gue liat elo-nya. Hari ini pokoknya gue yang traktir. Terserah lo mau makan apaan.”
“Gue sebenernya pengen banget makan bala-bala,” kataku.
“Ah iya, lo suka banget makan bala-bala ya. Lain kali deh gue traktir bala-bala. Disini mah gak ada kelihatannya.”
Cerita hidup kami selama 10 tahun yang terlewatkan itu mengalir. Dia bercerita bahwa istrinya meninggalkan rumah sudah 2 tahun dan mereka sedang dalam proses perceraian karena bisnisnya yang up and down. Bahkan dalam kisah sedih itu pun aku menemukan bahwa Harris masih adalah seorang yang sangat tulus. Aku menyemangatinya sedikit dan berbagi kisah hidupku yang kelihatan mulus di luar tapi sebenarnya banyak perjuangan.
“Lo tuh emang dari dulu luar biasa ya. Gue selalu lihat progress. Kalo hidup itu ibarat tangga, lo selalu naik. Gue bisa bayangin beratnya hidup lo, tapi lo selalu tersenyum. You are so beautiful, so perfect,” komentarnya, “kenapa 7 tahun lalu itu gue gak ketemu lo ya… mungkin semuanya bakal berbeda sekarang.”
“Hey, walaupun waktu itu kita ketemu juga gue bakal tetep nolak lo.”
“Yah… hahaha… iya sih gue ngerti. Gue gak bermaksud merayu lo, tapi seenggaknya gue udah mengakui dengan jujur kalo lo first love gue dan sampe hari ini lo tetep perfect di mata gue.” katanya, kemudian hening sejenak, “maaf ya, Cleo, gue sebenernya juga pengen bikin lo bahagia, tapi gue gak bisa sekarang.”
“Maksud lo?”
“Maksudnya, kondisi gue sekarang lagi begini. Tapi gue mau bangkit lagi setelah gue denger cerita lo. Sebagai teman pun gue gak pengen lo jadi merasa ikut terbeban sama masalah-masalah gue.”
“Tenang aja, bang. Gue pelupa kok,” candaku.
Di saat seperti ini, aku hampir berpikir bahwa aku sudah gila. Kenapa dulu aku selalu menolak Harris. Sikapnya, tutur katanya, semuanya menunjukkan bahwa dia memujaku. Aku harus terus mengingatkan diriku bahwa pria di hadapanku masih berstatus menikah.
Delapan jam belum cukup, tapi aku masih sedikit jetlag. Aku mengantuk 2 jam lebih awal dari WIB. Harris mengantarku sampai depan rumah, walaupun nanti dia harus jalan kaki agak jauh berhubung tadi dia naik angkot. Dia juga ingin mengakhiri pertemuan kami dengan sebuah pelukan sebagai kawan lama, tapi aku menolak. Logika dan etika masih berfungsi dalam pikiranku. Apalagi di Jepang tidak ada adat bersentuhan seperti itu untuk orang yang berbeda jenis kelamin.
“Gue masih boleh ketemu lo lagi kan, Cle?” suaranya terdengar sedih.
“Boleh lah, kan kita belom musuhan.”
“Hahaha… thank you ya udah bersedia ngobrol dan nyemangatin gue.”
“Gue yang thank you udah ditraktir dinner.”
Braga City Walk. Aku sengaja mengajak Vina kesini. Sedang ada bazaar makanan dan live music. Demi bala-bala, nasi tutug oncom, dan teman-temannya.
“Apa? Lo ketemu Harris? Gimana ceritanya?” Vina bereaksi heboh.
“Ya dia tiba-tiba nelpon tanya gue dimana.”
“Terus, terus?”
“Terus kita ke kafe ngobrol-ngobrol.”
“Terus?”
“Terus gue jadi pengen makan bala-bala, makanya gue ngajak lo kesini. Sebelnya malah abis gitu bala-balanya.”
“Ih, gak nyambung deh lo.”
“Orang emang gitu ceritanya…”
Aku mengunyah seblak yang agak terlalu asin sambil mendengarkan live music. Ah, lagu-lagu cinta bodoh itu membuatku semakin mellow. Aku tidak punya keinginan untuk bercerita pada Vina tentang detailnya. Dia hanya akan mengatai aku bodoh dan melarangku bertemu Harris lagi.
Aku selalu membayangkan bahwa suatu hari nanti, akan ada ksatria berbaju zirah yang menaiki kuda putihnya, menjemputku ke istananya. Mungkin aku mengharapkan sang ksatria akan memandangku sama seperti Harris memandangku, seperti Harris memperlakukanku, seperti Harris… Aaahh, lalu kapan ksatria berbaju zirahku datang? Yang jelas bukan Harris. Aku melimpahkan kekesalanku pada combro yang kugigit dengan jengkel, tapi justru meredakan kejengkelanku karena rasanya enak.
Seminggu berlalu. Pertemuan itu tidak bisa luntur dari ingatanku. Bukan Harris-nya, tapi segala hal yang dia ucapkan dan lakukan yang menimbulkan keinginanku bertemu ksatria berbaju zirahku. Demi mengalihkan perhatianku dari situ, aku mulai membersihkan rumah. Bukan hanya bersih-bersih biasa, tapi sampai setiap teralis dari atas sampai bawah, setiap sudut rumah yang tertutup perabot, hingga bagian dalam lemari.
Saat aku sedang mengelap jendela depan rumah, tiba-tiba aku mendengar suara pria menyapa dari luar pagar.
“Cleo? Cleo kan ya?” pria itu memakai t-shirt biru muda dan celana pendek selutut.
“Iya.. maaf, siapa ya?”
“Hahaha.. maaf, gue Anthony. Tetangga sebelah.”
“Haahhh?? Anthony? Lo kok udah gede aja sih?”
“Ya masa kecil terus. Kan udah lewat.. 20 taon ya kayaknya?” Anthony menghitung
“Iya, gue patah hati parah waktu lo tiba-tiba pergi gitu aja. Temen maen gue satu-satunya di kompleks ini kan lo doang!”
“Ya maaf, mana gue tau kalo gue bakalan tiba-tiba pergi sama bokap gue begitu..”
Anthony adalah teman mainku sampai kami umur 10 tahun. Lalu tiba-tiba dia menghilang entah kemana. Waktu aku ke rumahnya, mamanya bilang dia pergi dengan papanya untuk jangka waktu yang tidak bisa ditentukan.
“Lo kemana aja?” tanyaku.
“Ke depan Unpar sono doang,” jawabnya.
“Yeee.. Selama 20 taon ini maksudnya.”
“Ohh… hahaha.. eh boleh duduk gak?”
“Eh maaf, maaf, sini masuk.”
Kami duduk di teras.
“Waktu itu ortu gue pisah dan gue semacam diculik sama bokap gue untuk ikut dia, sedangkan adik gue ikut nyokap. Selama 10 tahun gue gak pernah ketemu sama nyokap karena gue pindah ke Surabaya. Gue sempat diem-diem telpon ke nyokap dan gue sedih banget dengerin ceritanya. Abis itu gue minta bokap ngijinin gue sesekali mengunjungi nyokap di Bandung. Waktu itu lo di Jogja kan? Makanya gak pernah ketemu.”
“Ya ampun, gue baru tau ceritanya. Tau gak sih, gue tuh dulu tiap hari ke rumah lo nanya sama nyokap lo, ‘tante, Anthony udah pulang?’ Hahaha… sampe nyokap lo sebel kali ya, terus bilang sama gue gini, ‘Cleo, nanti kalo Anthony pulang, tante yang kasih tau Cleo ya. Jadi Cleo gak usah kesini setiap hari.'”
“Beneran lo? Hahaha.. kasian banget sih..”
“Gara-gara siapa coba?”
“Eh lo betah amat di Jogja? Terus bukannya kalian pindah ke Jogja ya? Kok lo malah disini?”
“Gue sempat kerja di Jogja beberapa tahun setelah kelar kuliah. Trus ortu gue pindah ke Jogja juga, tapi rumah ini gak dijual. Nah, pas banget karena perusahaan tempat gue kerja mutasi gue kesini. Setelah ngerasa jenuh, gue resign dan pergi ke Jepang jadi relawan di panti asuhan. Ini gue baru balik setelah 2 taon. Pengen istirahat dulu disini, sekalian bernostalgia. Bulan depan gue ke Jogja.”
“Wow… seru banget. Lo bakal balik lagi kesana?”
“Iya kayaknya, tapi belom tau kapan. Lo sendiri sibuk apa sekarang?”
“Gue barusan resign. Hahaha… oya, gue tadinya kerja di Hong Kong. Tapi jenuh. Makanya sekarang gue pulang dulu sebelum cari kerja lagi. Ini pas banget gue lagi di Bandung, eh ketemu lo, Cle!”
“Kita memang ditakdirkan bertemu lagi, Ton. Lo utang maaf sama gue soalnya. Hahaha…”
“Nih, permintaan maaf,” Anthony menyodorkan kantong kertas yang sejak tadi dia bawa.
“Eh, apa ini?” aku membukanya lalu tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa lo?”
“Bala-bala, Ton! Gue lagi sinting kepengen makan bala-bala sejak balik kesini.”
“Gue pahlawan lo dong ceritanya.”
Maybe.. the warrior is not in shining armor, nor riding a white horse. He’s in t-shirt and shorts with bala-bala in a paper bag.