The End

Aku tidak tahu kapan harus berhenti memikirkannya.

Butiran salju sore itu melambungkan anganku entah kemana. Aku hanya memandanginya yang berjatuhan perlahan seiring cahaya matahari yang mulai memudar digantikan malam. Latar belakang pohon ginkgo yang tidak berdaun di halaman belakang membuat suasananya terasa lebih sendu.

Sepi.

Dua hari ini aku sedang merindukan Edo, seseorang yang kutinggalkan 7 tahun yang lalu. Karena aku sudah ingin menikah, tapi dia baru masuk kuliah. Karena saat dia lahir, aku sudah kelas 3 SD. Selain itu, karena aku tahu dia memiliki seseorang yang dia sukai. Yang sepantaran dengannya. Mungkin aku kesal karena cemburu. Tapi aku sudah memutuskan untuk tidak berhubungan dengannya lagi.

Ponselku berbunyi. Nomor tak dikenal. Mungkin klien baru.

“Semua akunku kamu block ya?” kalimat pertama yang kudengar sebelum aku berkata halo.

“Hah?” begitulah reaksiku.

“All my messages never got through… or you just never wanted to read anything I wrote?”

Suara itu jelas Edo. Kenapa dia bisa tiba-tiba meneleponku.

“You’re obviously thinking of me, right?” katanya lagi sebelum aku sempat berkata apapun juga.

“Pede amat,”jawabku akhirnya, sambil tertawa ala kadarnya.

“Kamu pernah bilang, setiap orang yang kamu pikirin pasti bakal hubungi kamu. Masih sama?”

“Hmm,” bukan jawaban terbaik yang aku punya.

“Are you trying to get rid of me from your life completely?”

“I wish I could.”

Sepi.

“No, you don’t,” katanya, “you can’t. But I will try to respect your decision.”

Sementara aku tidak bisa banyak berkata-kata, entah dari mana semua memori yang ingin kulupakan terucap dengan lancar olehnya. Saat kami mulai saling menatap dan menyadari bahwa kami jatuh cinta, saat pertama kalinya dia memegang tanganku, saat dia menjagaku setelah ada gempa besar, saat aku marah waktu dia terlalu banyak bicara di bioskop, saat aku sengaja mencari pria lain untuk menjauhkannya dariku. Detail. Sangat khas Edo.

Entah kenapa selama berhari-hari aku selalu mengangkat telepon darinya walaupun aku lebih banyak mendengarkan. Edo juga bertanya banyak hal, mengerjar ketinggalan selama 7 tahun terakhir kami tidak bertemu. Aku ingin berhenti, tapi aku tidak bisa. Aku terlalu menikmatinya.

“Kamu.. udah punya pacar?”

“Hahaha… pertanyaan apaan itu?”

“Udah ya?”

“Belum sih.” Bodoh.

Dan sejujurnya aku sudah mendengar bahwa dia akan menikah tahun ini. Sekarang dia adalah seorang pengacara yang sudah mulai mapan. Katanya dia ingin mencari beasiswa untuk kuliah lagi di luar negeri.

“Kamu pasti terlalu picky. Atau gak bisa ngelupain aku?”

Edo. Ini masih pria yang sama yang kutinggalkan 7 tahun lalu. Percaya dirinya kadang terlalu tinggi, tapi banyak hal yang dikatakannya adalah benar.

“Kita… belum pernah putus,” katanya. Jantungku hampir berhenti saat itu.

“Edo…”

“Dulu aku punya sejuta kekhawatiran. Baru masuk kuliah, anak kost yang hidupnya pas-pasan, gak pernah tau masa depan bakal kayak apa. Sekarang keadaan udah beda, Vien.”

Aku hanya terdiam menebak-nebak apa maksudnya.

“Can I go there to see you?” tanya Edo lembut.

“Let me think about it,” jawabku setelah beberapa detik.

“Remember, I will respect your decision.”

“Hmm…”

Akan membutuhkan waktu 7 jam untuk Edo terbang sampai kemari. Lalu apa yang akan terjadi? Apa aku benar-benar menginginkannya? Apakah sebuah pertemuan bisa mengubah sesuatu? Kenapa sekarang? Apa aku terlalu kesepian sampai terbawa suasana?

Akhirnya aku memandangi nomor kontak Edo di ponselku. Kemudian memasukkannya dalam daftar block. Aku tidak mau menjadi orang ketiga dalam hubungannya dengan calon istrinya. Aku hanya berharap untuk tidur nyenyak malam ini dan melanjutkan hidupku besok.

Goodbye, Edo. It’s my final decision.

 

The Warrior

Oh, my warrior in shining armor, please ride your white horse to find me quick!

Bandara Husein Sastranegara, Bandung.

Aku celingukan mencari Vina, sahabatku, yang katanya akan datang menjemput. Diantara semrawutnya manusia disini, aku yakin Vina pasti terlihat.

“Cleo!!” suara menggelegar itu sudah pasti Vina.

Aku melambaikan tangan dan berjalan ke arah Vina yang sudah jejingkrakan menyambutku.

“Buuuu… kumel amat loooo??” katanya seraya memelukku, “welcome back!”

“Thank you, bu, tapi tolong ya volume suaranya,” bisikku, sungkan dengan sekeliling.

“Oh iya, lupa gue.. Gila lo dari Jepang apa dari Bromo sih, bu? Item dekil begini?”

“Namanya juga abis summer holiday. Host gue buka warung di pantai. Jadilah gue bantuin jualan.”

“Oooo… Gue kira disana cuma ada gunung Fuji sama salju. Hahaha.. ternyata ada tukang jualan pula di pantai…”

Lalu seperti biasa Vina mulai nyerocos tidak karuan sepanjang jalan. Badanku yang lelah membuat pikiranku tidak fokus. Aku setengah mendengarkan Vina, setengah lagi membayangkan segala jenis makanan Indonesia yang kurindukan setelah 2 tahun lebih tidak pulang.

 

Ciumbuleuit. Suhu udara disini jadi terasa terlalu dingin buatku yang tadinya tinggal di area 35-40 derajat Celcius. Seperti biasanya, rumah ini masih terasa terlalu besar untuk kutinggali sendirian. Baru saja aku mengganti SIM Card lokal dan mengupdate nomor WhatsApp, tiba-tiba ada telepon masuk.

“Halo?” aku ragu-ragu tapi kuangkat juga.

“Halo, selamat siang, bisa bicara dengan ibu Cleo Victoria Irawan?”

“Iya saya sendiri,” kataku sambil bertanya-tanya mengapa dia tahu nama lengkapku.

“Ibu Cleo, apa kabar?” suara seorang pria yang sepertinya aku kenal.

“Baik… tapi ini siapa ya?”

“Lo kagak bisa nebak ini siapa, mpookkk?”

“Buset, tumben amat lo nelpon, bang bang tut?”

“Hahaha… belom lupa lo sama gue ya. Kemana aja looo? Ngomong-ngomong lo dimana sekarang?” ternyata Harris, teman lamaku.

“Lagi di Bandung nih.”

“Eh beneran lo di Bandung? Gue juga! Ketemuan yuk.”

“Hahaha… serius lo? Kapan?”

“Sekarang lah. Gue kangen berat. Ke BIP yuk, naik angkot.”

“Gila ya lo mah kagak berubah nongkrongnya ke BIP mulu. Ogah gue, yang deket sini aja.”

“Ya udah dimana aja deh, mpok. Pokoknya gue samperin naik angkottt.”

 

Jadilah aku janjian bertemu Harris dalam 1 jam di kafe dekat rumah. Kami sudah berteman belasan tahun. Terakhir aku bertemu dengannya 10 tahun lalu di Jogja. Beberapa tahun setelah itu dia menemukanku di Facebook dan kami bertukar nomor kontak WhatsApp. Terakhir aku mendengar kabarnya saat dia akan menikah sekitar 5 tahun lalu, tapi waktu itu aku harus pergi ke Inggris.

Sebenarnya aku malas keluar rumah karena masih lelah, tapi Harris harus kembali ke Jakarta besok. Dan lagi, sekalipun dia teman lama, dia adalah suami seseorang. Selain itu, dia sempat meneleponku sebelum dia menikah, menyatakan bahwa aku adalah cinta pertamanya.

Ah, sudahlah…

Aku bersiap-siap berangkat. Saat sekilas aku melihat cermin, aku terhenti dan berkaca. Benar kata Vina. Aku terlihat kumal. Di wajahku juga mulai terlihat garis-garis halus tanda penuaan. Kupegang pipiku, perutku, lenganku… timbunan lemak! Mungkin Harris tidak akan mengenaliku lagi.

 

Teleponku berbunyi saat aku berjalan ke kafe.

“Gue udah sampe ye, mpok,” kata Harris, “gue tunggu di luar aja gitu? Apa di dalem?”

“Di luar aja. Gue beberapa langkah lagi nyampe.”

“OK! See you.”

 

Aku melangkah memasuki area kafe.

“Cleo!” Harris menyambutku dengan super ramah.

Aku agak merasa canggung, tapi akhirnya kami duduk bersebelahan.

“Akhirnya setelah berapa taon ya kita ketemu lagi, “kata Harris kemudian memandangiku beberapa saat, “lo tetep cantik aja, mpok.”

“Hahaha… makasih. Padahal Vina bilang gue dekil banget.”

“Gak kok, lo malah makin cantik kata gue sih.. Aduh, gue masih deg-degan aja kalo deket lo. Gue pindah ah,” Harris pindah ke kursi di hadapanku, “nah, kalo gini kan lebih enak gue liat elo-nya. Hari ini pokoknya gue yang traktir. Terserah lo mau makan apaan.”

“Gue sebenernya pengen banget makan bala-bala,” kataku.

“Ah iya, lo suka banget makan bala-bala ya. Lain kali deh gue traktir bala-bala. Disini mah gak ada kelihatannya.”

Cerita hidup kami selama 10 tahun yang terlewatkan itu mengalir. Dia bercerita bahwa istrinya meninggalkan rumah sudah 2 tahun dan mereka sedang dalam proses perceraian karena bisnisnya yang up and down. Bahkan dalam kisah sedih itu pun aku menemukan bahwa Harris masih adalah seorang yang sangat tulus.  Aku menyemangatinya sedikit dan berbagi kisah hidupku yang kelihatan mulus di luar tapi sebenarnya banyak perjuangan.

“Lo tuh emang dari dulu luar biasa ya. Gue selalu lihat progress. Kalo hidup itu ibarat tangga, lo selalu naik. Gue bisa bayangin beratnya hidup lo, tapi lo selalu tersenyum. You are so beautiful, so perfect,” komentarnya, “kenapa 7 tahun lalu itu gue gak ketemu lo ya… mungkin semuanya bakal berbeda sekarang.”

“Hey, walaupun waktu itu kita ketemu juga gue bakal tetep nolak lo.”

“Yah… hahaha… iya sih gue ngerti. Gue gak bermaksud merayu lo, tapi seenggaknya gue udah mengakui dengan jujur kalo lo first love gue dan sampe hari ini lo tetep perfect di mata gue.” katanya, kemudian hening sejenak, “maaf ya, Cleo, gue sebenernya juga pengen bikin lo bahagia, tapi gue gak bisa sekarang.”

“Maksud lo?”

“Maksudnya, kondisi gue sekarang lagi begini. Tapi gue mau bangkit lagi setelah gue denger cerita lo. Sebagai teman pun gue gak pengen lo jadi merasa ikut terbeban sama masalah-masalah gue.”

“Tenang aja, bang. Gue pelupa kok,” candaku.

Di saat seperti ini, aku hampir berpikir bahwa aku sudah gila. Kenapa dulu aku selalu menolak Harris. Sikapnya, tutur katanya, semuanya menunjukkan bahwa dia memujaku. Aku harus terus mengingatkan diriku bahwa pria di hadapanku masih berstatus menikah.

Delapan jam belum cukup, tapi aku masih sedikit jetlag. Aku mengantuk 2 jam lebih awal dari WIB. Harris mengantarku sampai depan rumah, walaupun nanti dia harus jalan kaki agak jauh berhubung tadi dia naik angkot. Dia juga ingin mengakhiri pertemuan kami dengan sebuah pelukan sebagai kawan lama, tapi aku menolak. Logika dan etika masih berfungsi dalam pikiranku. Apalagi di Jepang tidak ada adat bersentuhan seperti itu untuk orang yang berbeda jenis kelamin.

“Gue masih boleh ketemu lo lagi kan, Cle?” suaranya terdengar sedih.

“Boleh lah, kan kita belom musuhan.”

“Hahaha… thank you ya udah bersedia ngobrol dan nyemangatin gue.”

“Gue yang thank you udah ditraktir dinner.”

 

Braga City Walk. Aku sengaja mengajak Vina kesini. Sedang ada bazaar makanan dan live music. Demi bala-bala, nasi tutug oncom, dan teman-temannya.

“Apa? Lo ketemu Harris? Gimana ceritanya?” Vina bereaksi heboh.

“Ya dia tiba-tiba nelpon tanya gue dimana.”

“Terus, terus?”

“Terus kita ke kafe ngobrol-ngobrol.”

“Terus?”

“Terus gue jadi pengen makan bala-bala, makanya gue ngajak lo kesini. Sebelnya malah abis gitu bala-balanya.”

“Ih, gak nyambung deh lo.”

“Orang emang gitu ceritanya…”

Aku mengunyah seblak yang agak terlalu asin sambil mendengarkan live music. Ah, lagu-lagu cinta bodoh itu membuatku semakin mellow. Aku tidak punya keinginan untuk bercerita pada Vina tentang detailnya. Dia hanya akan mengatai aku bodoh dan melarangku bertemu Harris lagi.

Aku selalu membayangkan bahwa suatu hari nanti, akan ada ksatria berbaju zirah yang menaiki kuda putihnya, menjemputku ke istananya. Mungkin aku mengharapkan sang ksatria akan memandangku sama seperti Harris memandangku, seperti Harris memperlakukanku, seperti Harris… Aaahh, lalu kapan ksatria berbaju zirahku datang? Yang jelas bukan Harris. Aku melimpahkan kekesalanku pada combro yang kugigit dengan jengkel, tapi justru meredakan kejengkelanku karena rasanya enak.

 

Seminggu berlalu. Pertemuan itu tidak bisa luntur dari ingatanku. Bukan Harris-nya, tapi segala hal yang dia ucapkan dan lakukan yang menimbulkan keinginanku bertemu ksatria berbaju zirahku. Demi mengalihkan perhatianku dari situ, aku mulai membersihkan rumah. Bukan hanya bersih-bersih biasa, tapi sampai setiap teralis dari atas sampai bawah, setiap sudut rumah yang tertutup perabot, hingga bagian dalam lemari.

Saat aku sedang mengelap jendela depan rumah, tiba-tiba aku mendengar suara pria menyapa dari luar pagar.

“Cleo? Cleo kan ya?” pria itu memakai t-shirt biru muda dan celana pendek selutut.

“Iya.. maaf, siapa ya?”

“Hahaha.. maaf, gue Anthony. Tetangga sebelah.”

“Haahhh?? Anthony? Lo kok udah gede aja sih?”

“Ya masa kecil terus. Kan udah lewat.. 20 taon ya kayaknya?” Anthony menghitung

“Iya, gue patah hati parah waktu lo tiba-tiba pergi gitu aja. Temen maen gue satu-satunya di kompleks ini kan lo doang!”

“Ya maaf, mana gue tau kalo gue bakalan tiba-tiba pergi sama bokap gue begitu..”

Anthony adalah teman mainku sampai kami umur 10 tahun. Lalu tiba-tiba dia menghilang entah kemana. Waktu aku ke rumahnya, mamanya bilang dia pergi dengan papanya untuk jangka waktu yang tidak bisa ditentukan.

“Lo kemana aja?” tanyaku.

“Ke depan Unpar sono doang,” jawabnya.

“Yeee..  Selama 20 taon ini maksudnya.”

“Ohh… hahaha.. eh boleh duduk gak?”

“Eh maaf, maaf, sini masuk.”

Kami duduk di teras.

“Waktu itu ortu gue pisah dan gue semacam diculik sama bokap gue untuk ikut dia, sedangkan adik gue ikut nyokap. Selama 10 tahun gue gak pernah ketemu sama nyokap karena gue pindah ke Surabaya. Gue sempat diem-diem telpon ke nyokap dan gue sedih banget dengerin ceritanya. Abis itu gue minta bokap ngijinin gue sesekali mengunjungi nyokap di Bandung. Waktu itu lo di Jogja kan? Makanya gak pernah ketemu.”

“Ya ampun, gue baru tau ceritanya. Tau gak sih, gue tuh dulu tiap hari ke rumah lo nanya sama nyokap lo, ‘tante, Anthony udah pulang?’ Hahaha… sampe nyokap lo sebel kali ya, terus bilang sama gue gini, ‘Cleo, nanti kalo Anthony pulang, tante yang kasih tau Cleo ya. Jadi Cleo gak usah kesini setiap hari.'”

“Beneran lo? Hahaha.. kasian banget sih..”

“Gara-gara siapa coba?”

“Eh lo betah amat di Jogja? Terus bukannya kalian pindah ke Jogja ya? Kok lo malah disini?”

“Gue sempat kerja di Jogja beberapa tahun setelah kelar kuliah. Trus ortu gue pindah ke Jogja juga, tapi rumah ini gak dijual. Nah, pas banget karena perusahaan tempat gue kerja mutasi gue kesini. Setelah ngerasa jenuh, gue resign dan pergi ke Jepang jadi relawan di panti asuhan. Ini gue baru balik setelah 2 taon. Pengen istirahat dulu disini, sekalian bernostalgia. Bulan depan gue ke Jogja.”

“Wow… seru banget. Lo bakal balik lagi kesana?”

“Iya kayaknya, tapi belom tau kapan. Lo sendiri sibuk apa sekarang?”

“Gue barusan resign. Hahaha… oya, gue tadinya kerja di Hong Kong. Tapi jenuh. Makanya sekarang gue pulang dulu sebelum cari kerja lagi. Ini pas banget gue lagi di Bandung, eh ketemu lo, Cle!”

“Kita memang ditakdirkan bertemu lagi, Ton. Lo utang maaf sama gue soalnya. Hahaha…”

“Nih, permintaan maaf,” Anthony menyodorkan kantong kertas yang sejak tadi dia bawa.

“Eh, apa ini?” aku membukanya lalu tertawa terbahak-bahak.

“Kenapa lo?”

“Bala-bala, Ton! Gue lagi sinting kepengen makan bala-bala sejak balik kesini.”

“Gue pahlawan lo dong ceritanya.”
Maybe.. the warrior is not in shining armor, nor riding a white horse. He’s in t-shirt and shorts with bala-bala in a paper bag.

Turn Off the Spotlight

Hikari.

She stands out among all our peers. She’s so bright the darkness runs away. She defeats the word impossible. She doesn’t have any boxes to limit her in her world.

“Rei, I’m going to chase my dream,” she told me.

I was looking at her, waiting for her next sentences, but she just stood up on the fort wall where we sat on. The colour of the sunset made her looked orange. She wants to be an actress.

She hopped closer to me. She’s not afraid of falling down from fifty meters above the ground.

“You know, Rei. There’s one other love language. Attention. I will feel loved if I could get the spotlight on me,” she said.

“But yourself shines already, Hikari,” I said.

She smiled. So dazzling that I squinted.

“I want to shine brighter, Rei. I want to be like a flare, blazing, irradiating bigger and bigger space,” she spread her arms wide.

I have no reason to disagree with her. She had plenty of energy even to turn the world upside down.

 

That was fifteen years ago when we were naïve teenagers. The only thing I can remember clearly was the gleam of her smile. We lost contact once she left our hometown.

I kept watching TV and reading the news everywhere. I was so convinced that I would eventually find her because she’s an actress. She would become famous in no time. She’s Hikari.

I finally gave up after a year.

Nevertheless, Hikari is Hikari. She made her debut in the second year. She became one of the best actresses in this country in five years and then internationally not so long after. She won plenty of awards and always shining on the media. Just as expected from Hikari.

 

I lived my life like other normal people, until today when I saw that fading radiance walking towards me.

“Hikari,” I called her softly I almost couldn’t hear myself.

“Rei,” her smile was so delicate, I felt her fragile heart thumping when we hugged.

 

Once again we sat on the fort wall we sat before. Life pace in this town is as slow as a slug. Almost nothing has changed. Not even me, I suppose. But my dear friend here seems has changed so much. I was completely speechless. Her eyes told me that she was badly injured inside. Her brightness had leaked somehow, leaving her with only this slight glow.

She was going to stand, but then a very obvious hesitance burst out and she sat back down.

“You still know me best than other people in the world, Rei,” she said.

“Hmm…” I put a bit gap before she continued.

“I couldn’t stand being unseen. I wanted all of the attention in the world. I wanted to stand on the stage with the spotlight always flashing on me. But I’m tired. I want to run away from this.”

“Are you sure? You don’t know how it feels to be nobody when you always are somebody. Are you sure you won’t die if you didn’t get any attention?”

She hesitated again. Then she grinned.

“Will you still be my friend if I turned into a zombie?” she’s staring at me.

“As long as you don’t bite me, I think.”

She laughed.

“I don’t know since when I became so afraid of losing, Rei. I feel like avoiding every single competition, even if it’s just a silly board game. I’m tired of people’s expectation. I’m tired of those stupid glares when I tripped over in life. I’m tired of not being able to be happy and free to be myself.”

“So what are you going to do?”

“I’m going to turn off the spotlight.”

[Because you told me that actually I don’t need spotlight to shine. Spotlights extinguish the real light.]

BOLD dan ITALIC

BOLD dan ITALIC

[perhatian: membutuhkan konsentrasi]

 

Whenever I look to the night sky through my window, I wonder if you will find me.

Whenever I see the vapour of my breath in the cold, I wonder if I will be able to warm your heart to melt the frost of your winter.

Whenever I walk by myself in the crowd, I wonder when I can hold your hand tight and never let go.

 

You, the outstanding among all, are waiting there to be found.

Physical attraction is for the ordinary, but the beauty of your soul captivates me in spring time.

Hold my hand, love, and I will never let go.

 

 

 “Pagi!” sapaku.

“Pagi. Apa kabarmu hari ini?” tanyaku.

“Dingin! Kamu?”

“Baik-baik saja, sepertinya…”

“Hey,” aku mengecilkan volume suaraku, “apa kamu ingat nama semua orang di kantor? Aku ingin menyapa seorang yang selalu naik bus yang sama, tapi takut salah nama.”

“Nope. Aku cuma ingat nama-nama orang yang aku perlu ingat. Yang kira-kira akan aku butuhkan dalam pekerjaan.”

“Bagaimana kamu tahu kalau suatu hari kamu akan membutuhkan mereka?”

Aku hanya bisa menengadahkan tangan tanda aku tidak tahu, “mungkin kamu harus ganti jam naik bus supaya tidak bertemu dengannya lagi.”

Aku meringis jelek sekali tanda tidak setuju.

Claire memang orang yang peduli dengan orang lain. Berbeda denganku yang suka berpikir lebih praktis. Mungkin karena kepribadiannya yang cenderung sanguin. Selalu tersenyum, selalu menyapa setiap orang, selalu ada bahan pembicaraan.

Walaupun Peter sudah ada disini lebih lama, pasti dia hanya ingat 20% orang-orang kantor. Dia memang lebih bisa diandalkan untuk hal-hal yang lebih praktis daripada menghafal nama orang. Apa boleh buat, aku harus berusaha mencari tahu nama orang itu sendiri.

 

 

Pemilahan divisi di kantor itu membuat mereka duduk berhadapan dengan sekat-sekat di sekeliling mereka. Pekerjaan yang serupa membuat mereka sering harus berdekatan, berargumen, dan saling membantu. Kejenuhan musim dingin membuat mereka sering tiba-tiba membicarakan hal-hal bodoh untuk menertawakannya bersama.

Hari ini suhu tiba-tiba merosot hingga dibawah nol derajat Celcius sehingga banyak teman-teman kantor mereka memilih untuk bekerja dari rumah. Kantor yang biasanya agak sepi menjadi jauh lebih sepi.

“Hey, Claire!” panggil Peter.

“Hah?” Claire mendongak, mengalihkan pandangannya dari monitor ke arah Peter, yang duduk hanya 1 meter dihadapannya.

“Kamu sudah lihat ini?” Peter menyodorkan sebuah kalender meja. Disitu tercetak foto seorang perempuan kecil dan seorang laki-laki kecil yang chubby bersama seekor anjing.

Claire mengambilnya dari tangan Peter. “Ini kamu dan kakakmu?”

“Yep.”

Claire membandingkan Peter kecil dalam foto itu dengan Peter saat ini.

“Kenapa sekarang kamu bisa kurus tinggi menjulang begini?” tanya Claire.

“Hahaha… aku juga tidak tahu kenapa.”

 

Percakapan mereka mengalir begitu saja. Mulai dari gen, kucing, kura-kura, panjat tebing, hingga server.

 

Aku hanya mencari alasan untuk berbincang dengan Claire. Dia selalu punya komentar menarik yang membuatku merasa santai. Aku suka sekali dengan ekspresi wajahnya dan bahasa tubuhnya yang seperti film kartun.

Kadang aku merasa heran pada Peter. Dia sering memulai pembicaraan dengan topik yang sangat acak. Ini membuatku berpikir bahwa dia jauh dari reputasi orang-orang dari bagian selatan Inggris yang cenderung sangat cuek.

 

 

“Hey, Peter!” Claire berbisik.

“Hah?” Peter melepas headsetnya.

“Apa kamu familiar dengan Access? Aku sama sekali tidak pernah menggunakan Access, jadi aku tidak tahu bagaimana cara memilah data ini sebelum migrasi ke software baru. Ada 25.000 records dan ada beberapa tabel dengan ID duplikat, jadi tidak mungkin dikerjakan manual. Apa kamu bisa membantu?”

“Hmm… Coba aku lihat.”

Peter beranjak dari kursinya dan memutari sekat untuk duduk di samping Claire. Mereka memandangi monitor sementara Claire menjelaskan logikanya.

“Got it,” Peter menggeser keyboard di meja Claire.

Aku tidak mengerti Peter berbicara tentang apa sambil membuat queries dengan sql view. Raut wajahnya terlihat begitu santai, seperti ini hanya mainan saja. Kadang dia sekilas melihat ke arahku sambil menjelaskan fungsi query yang dia buat. Sesekali aku bisa mencium harum sabun saat dia bergerak. Aku sudah mulai tidak bisa berkonsentrasi pada database lagi. Aku memandangi rambut coklatnya yang agak berantakan. Memandangi mata hijaunya yang tampak cerdas di balik kacamata. Aku bisa mendengar suara nafasnya disela suara ketukan-ketukan keyboard. Dalam waktu 15 menit dia menyelesaikan semuanya, lalu tersenyum padaku. Dalam jarak yang hanya 30 centimeter dari wajahku, aku menyadari sesuatu. O, man, he’s possibly the most handsome geek I’ve ever seen!

“Thanks! Kamu memang jenius!” Claire menepuk pundak Peter.

Bukan hanya sekali ini aku bekerja berdekatan dengan Claire, tapi kantor yang sangat sepi membuatku agak gugup. Untung otakku masih bekerja dengan baik. Hanya saja sepertinya mulutku hampir tidak bisa berhenti berbicara untuk mengurangi rasa gugup. Walaupun aku tahu Claire tidak akan mengerti apa yang aku bicarakan. Setidaknya aku bisa membuat Claire terkesan dengan menyelesaikan pemilahan data dalam waktu cukup singkat.

 

 

“Hey, Claire!” Peter mengetukkan bolpen ke monitor Claire.

“Ya?” Claire berhenti mengetik.

“Kamu sedang apa?”

“Membuka Facebook,” Claire meringis.

“Apa rencanamu untuk liburan Natal?”

“Ngg… belum tahu. Kalalu kamu? Pulang?”

“Pastinya. Kamu mau ikut?”

“Ke rumahmu?”

“Iya. You’re always welcome. Kalau kamu mau, but no pressure. Think about it and let me know.”

Sepertinya akan sangat menarik kalau aku bisa merasakan Natal pertamaku di Inggris dengan tata cara lokal. Di rumah Peter… Di rumah Peter… wow, pasti jadi sesuatu yang tak terlupakan. Selain aku tidak ingin sendirian saat Natal, aku juga tidak ingin menolak tawarannya

Great! What do I do now? Bagaimana kalau dia mengiyakan? Aku bisa salah tingkah setengah mati.

 

 

“Hey, Peter!”

“Ya?”

“Kupikir aku akan ikut kamu untuk liburan Natal.”

“Great! I will book the tickets then,” Peter tersenyum.

“Thanks,” Claire balas tersenyum, “biasanya orang membawa apa kalau bertamu?”

“Tidak usah repot-repot. Keluargaku tahu kalau kita relawan-relawan miskin.”

“It’s against my culture. Walaupun miskin aku tetap harus sopan membawakan sesuatu.”

“Wine?”

“Perfect. I hope they don’t mind to have cheap wine. Hahaha.”

 

 

Liburan Natal.

Dua minggu. Dua minggu di rumah Peter. Akhirnya aku menyaksikan semua kisah yang diceritakan Peter di kantor hidup di sekelilingku. Kehangatan keluarga ini, kekocakan adiknya, bahkan kucingnya yang selalu membuatku bersin, semua seperti mimpi yang menjadi nyata.

Claire semakin terlihat berkilauan. Ada sesuatu dari dirinya yang membuatku ingin selalu berdekatan dengannya.  

 

“Claire, aku mau jalan-jalan sebentar di danau dekat sini. Ikut?” Peter muncul di depan pintu kamar tamu.

“Ikut! Tunggu,” Claire menyambar sweaternya dan menutup pintu kamar.

Mereka berjalan berdampingan di jalan setapak di tepi danau.

“Apa orang Asia selalu berjalan lambat sekali?” Peter menggoda Claire.

“Shut up, Peter,” Claire menonjok lengan Peter, “kakimu yang terlalu panjang!”

 

 

“Stop, stop,” Claire menahan Peter.

“What?”

“Sunset. Lihat warnanya indah sekali,” Claire menunjuk pantulan jingga matahari di permukaan air, dilatari lembayung langit dan bukit-bukit hijau dengan beberapa pohon yang sudah meranggas. Beberapa ekor bebek masih berenang dan menyelam mencari makan.

Peter berhenti, ikut menikmati pemandangan yang tidak biasa di musim dingin itu. Mereka berdiri terdiam disana. Uap panas nafas mereka semakin tampak jelas di udara yang semakin dingin.

“Peter, terima kasih,” Claire tersenyum, “liburan Natal kali ini sangat berkesan.”

“My pleasure,” Peter balas tersenyum.

 

 

I don’t know what I was thinking, but I held out my hand to Claire.

I reached out my hand to Peter’s like my heart already knew it long time ago.

 

 

Dan mereka berjalan pulang bergandengan tangan.

 

 

You finally found me. Please don’t let go.

No, I won’t.

 

– was listening to Dance with Me by Jesus Culture. Decided not to write any climax –

Place me like a seal over your heart, like a seal on your arm; for love is as strong as death, its jealousy unyielding as the grave. It burns like blazing fire, like a mighty flame. (Song of Songs 8:6)

Wherever You Are

Gerimis masih sedikit demi sedikit mengguyur kita. Di dataran tinggi dengan suhu hampir nol dan mulai tertutup kabut ini, kita masih harus menempuh perjalanan sekitar tujuh kilometer. Sudah hampir mustahil menemukan truk sayur milik penduduk lokal yang bisa mengangkut kita kembali ke penginapan. Di kanan kiri kita hanya terlihat lembah-lembah kebun sayur dan gundukan-gundukan kotoran hewan yang digunakan sebagai pupuk kandang.

Kau tersenyum, lebih mirip menyeringai, tapi aku bisa melihat kegembiraan yang terlihat kekanak-kanakan di matamu.

“Kenapa… kamu mau ikut berpetualang bersamaku?” kau bertanya.

Aku sedikit terkejut. Sepertinya keningku berkerut karena bingung. “Bukannya kita sudah melakukannya bersama sejak berjuta-juta tahun yang lalu?”

Kali ini kau tertawa terbahak-bahak. Hal yang sangat jarang terjadi. Kau membungkuk dan menahan berat tubuhmu dengan memegang kedua lututmu. Aku melihat celana dan sepatu boot-mu yang berlumpur. Pemandangan yang tidak asing lagi bagi kedua mataku.

“Kamu demam ya?” aku menaruh punggung tanganku di keningmu. Kau meraih tanganku dan tidak melepaskannya lagi.

“Kamu… memang tidak ada duanya, tuan putri,” kau mengecup tanganku.

Jantungku mulai berdebar kencang. Aku berusaha mengendalikan diri karena kita sudah berteman sejak kita baru lahir. Aku merasakan cincin tunanganmu menonjol dan lebih dingin dari kulit tanganku. Beberapa bulan lagi kau akan menikah. Dengan seorang wanita yang lebih feminin dariku. Yang bisa menjadi ibu rumah tangga. Yang bisa mengurus anak-anak dan menunggumu pulang kerja setiap sore. Tidak seperti aku, yang hampir tidak mengenal kata rumah. Rumahku adalah kemanapun aku pergi. Aku menelan ludah, seperti menelan kecemburuanku.

“Mia, aku… “

Kau mulai melangkah perlahan. Aku mengikutimu, menunggumu meneruskan kalimatmu.

“.. aku berpikir, kalau aku menikah dengan Ana, mungkin hidupku akan jadi biasa saja. Kerja kantoran, pulang, menghabiskan waktu dengan keluarga di rumah… hidup yang benar-benar ingin aku hindari karena terdengar sangat membosankan.”

Aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Aku sangat mengenalmu. Kau punya cukup banyak stok adrenalin untuk dihamburkan. Pekerjaanmu sebagai freelancer di sebuah majalah olahraga ekstrim membuatmu dapat bergerak bebas sekaligus mendapat penghasilan. Waktu kau memutuskan untuk melamar Ana, kau berkata bahwa Ana akan jadi istri yang sempurna. Dia keibuan, pandai memasak dan mengurus rumah, terlebih lagi orang tuamu mengenal orang tua Ana. Lagipula, kau sendiri yang mendekati Ana, bukan acara perjodohan orang tuamu.

Aku mendengarmu menghela napas cukup keras. “Mia… aku berpikir… mungkin kalau aku menikah denganmu, kita bisa tetap berpetualang bersama. Dengan anak-anak juga. Kita bisa merain impian kita bersama. Impianku menjadi fotografer profesional, dan impianmu menjadi jurnalis.”

Kalimat itu menggodaku untuk berkomentar miring karena aku juga menginginkannya. Setelah sepersekian detik, akal sehatku membuatku tidak melakukannya.

“Ron, kamu sudah bertunangan. Keputusan selalu diikuti konsekuensi. Tidak usah berpikir macam-macam lagi,” kataku akhirnya.

“Sangat khas Mia,” kau tersenyum lebar, “terima kasih. Ya, kamu benar. Aku harus bertanggungjawab terhadap Ana dan keluarga kami.”

Lima kilometer berikutnya kita berjalan tanpa kata. Gerimis mulai berhenti. Aku membuka tudung jas hujanku, lalu menenggak persediaan air minumku yang semakin menipis. Aku memandangi punggungmu yang lebar. Warna jaketmu sudah memudar dari aslinya. Selama dua puluh enam tahun kita melakukan ritual rutin untuk berpetualang bersama. Mulai dari tur ke kebun binatang waktu kita masih TK, tur ke planetarium waktu kita SMA, orientasi pecinta alam yang terkesan kejam waktu kita kuliah, uji coba hitchhiking dari ujung ke ujung pulau Jawa setelah lulus kuliah, hingga hari ini kita sedang berada di antah berantah di Tibet.

Aku menyadari bahwa setiap tahun, entah setelah kita berpencar tidak karuan ke berbagai belahan dunia, kita selalu menyempatkan diri untuk pergi bersama. Aku juga menyadari bahwa sejak lima tahun lalu, Ana selalu cemburu padaku walaupun dia selalu tampak ramah waktu menanyakan petualangan kita. Ana tidak pernah mau ikut karena Ana tidak suka jalan kaki, tidak suka hujan, tidak suka lumpur, tidak suka kedinginan, tidak suka kepanasan, dan banyak tidak suka yang lainnya. Singkatnya, Ana sama sekali bukan petualang. Tapi Ana sepertinya mendukungmu. Ana bisa menjadi istri yang sempurna untukmu.

Kalian akan tinggal di sebuah rumah di kota. Kamu harus melupakan rumah di tepi sebuah tebing yang menghadap laut. Ana tidak akan memanjat tebing untuk masuk ke rumah. Setidaknya kamu akan punya tempat untuk pulang. Tidak seperti sekarang, sama seperti aku.

Mungkin ini akan menjadi petualangan kita yang terakhir.

 

Aku memandang diriku memakai gaun satin biru muda di cermin. Aku siap menghadiri resepsi pernikahan Ron dan Ana. Aku berlatih berkali-kali untuk mengucapkan pidato di resepsi nanti. Semoga aku tidak tiba-tiba menangis dan membuat maskaraku luntur sehingga aku terlihat seperti shinigami bergaun biru. Aku sudah menangis dua hari yang lalu, jadi seharusnya aku akan baik-baik saja.

Aku mendengar suara tamu-tamu yang mulai berdatangan di pesta kebun di halaman rumah Ron ini. Aku mengatur napasku, membenahi tatanan rambut, lalu melangkah keluar dari kamar mandi. Ron berlari-lari melambaikan tangan ke arahku. Dia tampak panik.

“Mia!” Ron menahan suaranya supaya tidak terdengar oleh para tamu undangan.

“Kenapa?” tanyaku

“Ana… sepertinya ingin berubah pikiran.”

“Oh, no! Kenapa sekarang? Dimana dia?”

“Di kamar tamu.”

Aku meninggalkan Ron yang disapa oleh beberapa tamu.

Pintu kamar tamu sedikit terbuka. Beberapa orang mengintip, termasuk ibu dan beberapa kerabat Ana, tapi sama sekali tidak ada yang masuk.

“Ada apa?” aku berbisik

“Ana mengusir kami semua.”

Aku memberanikan diri masuk, lalu menutup pintu kamar. Ana menoleh, seperti ingin marah, tapi kemudian hanya kembali memandangi lantai. Aku duduk di sebelahnya, memegang tangannya yang gemetaran. Ana mulai menangis sesenggukan. Aku serabutan meraih tisu dan memberikannya pada Ana.

“Mia… apa Ron benar mencintai aku?” suaranya seperti mengerang menahan sakit.

Aku ingin melontarkan teoriku bahwa cinta adalah sebuah keputusan. Cinta harus dijaga supaya tetap bertumbuh. Tapi kelihatannya mengucapkan teori ini sama sekali tidak akan membuat situasi menjadi baik.

“Kalau dia tidak cinta, dia tidak akan melamarmu,” jawabku.

Ana memandangku. Dia sudah agak tenang. Aku tersenyum, menggenggam tangannya lebih erat.

“Tapi sepertinya dia lebih cinta pada impiannya. Aku takut dia pergi meninggalkanku karena aku tidak suka berpetualang. Aku tidak seperti kamu, Mia…” Ana menangis lagi.

“Ana… kalian sudah bersama selama lima tahun. Apa pernah dia tidak kembali padamu? Ana, kemanapun Ron pergi, dimana kamu berada adalah tempatnya untuk pulang.”

Tangis Ana berhenti perlahan-lahan. Dia menghapus air matanya, lalu memelukku cukup lama. Kali ini aku yang ingin menangis. Aku sedang meyakinkan seorang wanita untuk menikahi orang yang sangat aku cintai. Untung saja seseorang mengetuk pintu dan menginformasikan bahwa sebentar lagi Ana harus siap.

Prosesi pernikahan berjalan lancar. Semua orang bahagia. Ron mengedipkan mata dan mengacungkan jempol padaku. Dia terlihat lebih dewasa sekalipun masih melakukan hal konyol.

Suatu hari nanti, aku juga akan menemukan tempatku untuk pulang. Suatu hari nanti, aku juga akan bisa berkata pada seseorang, “home is wherever you are.”

ON TIME

“Kalau aku bilang, ‘ayo sekarang kita berangkat’ bagimana?” muncul di Yahoo Messenger.

Pertanyaan itu seharusnya jadi pertanyaan retorik, tapi berjuta-juta pemikiran timbul di benakku waktu kamu menanyakannya. Kita sama sekali belum pernah bertemu langsung. Kita tinggal di belahan bumi yang berbeda. Kita memang sudah berkomunikasi secara intensif selama hampir setahun dan bahkan merencanakan perjalanan misi keliling dunia bersama. Hanya saja, sekarang aku masih menjalankan bisnis yang sepertinya tidak bisa ditinggalkan disini. Ayahku mungkin tidak akan setuju jika aku tiba-tiba pergi. Selain itu, bukannya aku tidak percaya kalau Tuhan sanggup memelihara kehidupanku waktu aku melayani Dia sepenuh waktu, tapi aku juga tidak mau bertindak gegabah tanpa mendapat konfirmasi dari-Nya. Apakah ini sekedar keinginanku sendiri atau benar-benar kehendak-Nya? Yang terakhir, jujur pada diriku sendiri, adalah bahwa aku tidak tahu apa aku bisa mempercayaimu.

“Aku akan berdoa dulu,” jawabku.

Entah bagaimana ekspresimu waktu kau membacanya, tapi beberapa detik kemudian kau membalas pesanku.

“Hahaha… kupikir kamu orang yang spontan seperti kesanku selama ini. Ternyata kamu ragu-ragu sekali waktu aku bertanya.”

“Yah, maaf, tapi aku harus tahu apa ini kehendak Tuhan.”

Walaupun zona waktu kita berbeda 12 jam, tapi aku bisa membayangkan kita sedang duduk diatas rumput, di bawah bayang-bayang sebuah pohon di tepi sungai. Mungkin di suatu tempat di pinggiran kota di Jepang. Seperti impian kita. Aku bisa melihat kau memandang jauh ke depan, kemudian memandangku sambil tersenyum.

“Aku punya sebuah pertanyaan, tapi aku ingin kamu menjawabnya dengan jujur,” katamu.

“Baiklah. Apa?”

“Pernahkah kamu… mempertimbangkan aku sebagai kandidat calon suamimu?”

Aku terpana sejenak. Tiba-tiba sekelilingku menjadi sunyi senyap. Aku merasakan detak jantungku semakin mengganggu pendengaranku. Kali ini aku tidak bisa menjawab dengan jujur. Setelah kau membuat aku banyak berharap dan juga hilang pengharapan. Kadang kau membuatku berpikir bahwa kita ditakdirkan untuk bersama, tapi lebih banyak kali kau membuatku berpikir bahwa kita hanya bisa bersama sebagai sepasang sahabat. Terlebih lagi setelah kau bercerita tentang mimpimu bertemu calon istrimu, yang tentu saja bukan aku. Ya, aku cemburu, dan aku ingin tahu reaksimu saat aku menjawab pertanyaanmu.

“Hmm… apa ini jebakan?” tanyaku

“Hahaha… bukan. Aku benar ingin tahu. Tapi tolong jawab dengan jujur. Tidak usah takut.”

“Baiklah… tadinya aku mempertimbangkannya.”

“Tadinya? Jadi sekarang tidak lagi? Kenapa?”

Entahlah. Sebenarnya aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu, tapi jari-jariku tidak berhenti menulis sesuatu yang mungkin akan kusesali.

“Ya… mungkin karena aku lebih menikmati menjadi temanmu. Kalau kamu sendiri bagaimana? Apa kamu mempertimbangkan aku sebagai calon istrimu?”

“Ya… tadinya… sama.”

Aku kecewa. Kepada diriku sendiri, juga kepadamu. Apa kita hanya sedang mempertahankan ego kita masing-masing? Beberapa menit kita tidak menulis sepatah kata pun. Kamu, aku… bergumul dengan pemikiran dan perasaan kita sendiri. Aku bisa membayangkan senyummu memudar perlahan-lahan. Kemudian kau berdiri dan mengucapkan selamat tinggal.

“Terima kasih.”

“Sama-sama.”

“Selamat tinggal.” Kata itu akhirnya terlontar lagi walaupun kau tetap kembali berkali-kali setelah mengucapkannya.

“Selamat tinggal.” Kata yang sama, yang tidak pernah aku ucapkan sebelumnya, yang berarti aku tidak takut lagi kehilanganmu, meluncur tanpa terkendali.

Percakapan terakhir kita. Setelah itu aku tidak pernah lagi mendengar kabar darimu. Aku menyimpulkan bahwa pemikiranku benar, bahwa memang seharusnya aku tidak pernah mempercayaimu.

 

Bertahun-tahun kemudian, aku memberanikan diri melangkah keluar dari duniaku untuk benar-benar pergi keliling dunia dengan sebuah kapal misi. Setelah tidak pernah menyentuh dunia IT, aku akhirnya sekarang aku sedang duduk memandangi serentetan syntax yang membuat otakku berdenyut-denyut tak karuan, memberontak meminta makanan manis.

Aku pergi ke ship shop dan membeli sekaleng Vanilla Coke dingin, lalu keluar menghirup udara segar di laut lepas. Ini seperti impian yang menjadi nyata. Walau setelah beberapa bulan aku tidak terlalu gembira lagi saat kapalku berpindah negara. Sekalipun aku berada di negara asing, ada sesuatu yang hilang yang membuatku merasa semuanya biasa saja. Gejolak yang biasanya menyeruak dari dadaku setiap aku melangkah turun ke darat di sebuah negara sudah menguap entah kemana bahkan sebelum kapal ini berlabuh disana.

Aku kembali ke ruang kerjaku dan siap berkutat lagi dengan download script bodoh itu. Tiba-tiba managerku muncul dan berkata, “hey, bisa lihat di support center, ada request baru karena beberapa project workers akan datang minggu depan. Tolong buatkan account dan mailbox untuk mereka ya. Jangan lupa cek di address book, siapa tahu mereka sudah punya mailbox di salah satu kantor perwakilan kita.” Belum selesai otakku memroses kecepatan bicara ditambah aksen Inggrisnya yang kental, dia muncul lagi, “ngomong-ngomong, salah satu project worker akan bekerja di departemen kita lho. Aku dengar dia cukup berpengalaman.”

“Wow, great!” hanya itu reaksiku melihat betapa sumringahnya dia.

Aku menghela napas dan membuka request baru untuk project workers. Seperti biasa, aku langsung membuka program administrator untuk pembuatan account baru. Aku menelusuri tabel daftar nama projet workers dengan malas-malasan. Sampai aku melihat nama yang tidak asing lagi. Mungkin aku hanya paranoid, tapi itu benar namamu. Aku melihat kolom tanggal lahir dan negara. Ya, itu memang benar kau. Kenapa kau muncul disaat yang tidak tepat? Atau tepat? Aku tidak tahu. Aku terpaksa membuatkan account dan mailbox untukmu sambil menggigit lengan sweaterku. Perasaan gemas, ingin marah, penasaran, sepertinya berkumpul di lengan sweaterku sehingga aku menggigitnya lebih kuat.

“Faye,” Chris menekan jari telunjukknya di pundakku.

“Hah?” aku melepaskan gigitanku dan menoleh.

“Kamu kenapa?”

“Argghhh,” hanya gerutuan dengan volume sangat rendah yang keluar dari mulutku, beserta dengan gerakan tangan mencakar-cakar meja.

Chris tertawa, lalu menepuk-nepuk kepalaku seperti yang biasa dilakukannya waktu melihatku frustrasi. Aku berharap bisa menumpahkan isi kepalaku yang sesungguhnya pada Chris tentang apa yang sedang terjadi. Tapi hatiku berteriak-teriak tak karuan, membuat kepalaku panik dan kacaulah semua informasi yang seharusnya bisa menjadi paragraf untuk menjelaskan situasiku.

“Semua akan baik-baik saja. Berdoalah,” kata Chris sebelum kembali memandangi monitornya.

Benar. Semua akan baik-baik saja. Tidak ada pencobaan yang melebihi kekuatanku. Lagi pula Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Semua pasti akan baik-baik saja.

 

Hari itu aku bertugas sendirian. Aku tidak keberatan karena hampir semua orang libur hari ini. Jadi tidak terlalu banyak pekerjaan dan aku bisa ngemil dengan bebas tanpa harus berbagi. Aku tidak peduli lagi tentang lemak-lemak yang mulai menimbun di perutku.

“Hai,” sebuah suara mengagetkanku.

Aku otomatis menoleh dengan cengiran, “yes, how can I help you?”

Sedetik kemudian aku merasakan tubuhku mulai membeku.

“Hai, aku project worker yang baru. Namaku Jose. Kita akan jadi teman sekantor.”

Kau tersenyum seakan kau sama sekali tidak mengenaliku. Mungkin memang tidak, karena sebelumnya kita tidak pernah bertemu. Tapi aku mengenali tanda lahir di lehermu. Aku berdiri dan mengulurkan tangan.

“Aku Faye. Silakan duduk.” Aku menyeret sebuah kursi untukmu, “maaf di kantor sedang tidak ada orang karena yang lain libur kecuali aku.”

“Faye… jadi sudah berapa lama kamu kerja disini?”

“Hampir satu tahun. Hmm… dari mana kamu tahu tentang kapal ini?” pertanyaan standar berikutnya…

“Dari google. Aku membaca kalau mereka masih membutuhkan orang IT, jadi aku mendaftar sebagai project worker. Berapa lama kamu akan tinggal disini?”

“Dua tahun.”

“Setelah itu apa rencanamu?”

“Mungkin aku akan pergi ke Jepang untuk misi jangka pendek.”

“Wow… kedengarannya menarik. Apa kamu suka Jepang?”

 

Hening. Tenggorokanku tercekat. Kekecewaan yang sudah lama tertimbun di hatiku tiba-tiba menyeruak keluar dan mencekik leherku.

“Faye… maafkan aku.”

Aku hampir tidak percaya bahwa kau mengucapkan kalimat itu. Aku berusaha mengumpulkan seluruh bagian diriku yang masih waras untuk bernapas dan mengendalikan diriku.

“Untuk apa?” tanyaku.

“Karena aku tiba-tiba saja menghilang.”

“Ku pikir kamu sudah tidak ingat apa-apa lagi tentang kita.”

“Aku tidak punya kata-kata lain yang bisa aku tulis lewat yahoo messenger. Kata-katamu bagaikan petir menyambar jantungku yang langsung berhenti seketika. Aku seperti mati saat itu,” kau menatap mataku. Pandangan mataku mulai kabur karena tergenang air mata.

Kali ini kau memegang kedua tanganku. Tanganmu terasa dingin. “I know we can’t make a brand new beginning, but we can make a brand new ending.” Aku hanya memandangi tanganmu yang masih memegang tanganku. Air mataku yang panas menetes di salah satunya. Aku menghirup banyak-banyak oksigen di ruangan tanpa ventilasi ini.

“Jose…” aku mendengar suaraku yang serak, menarik satu tanganku lepas dari tanganmu untuk menghapus air mataku supaya aku bisa melihatmu dengan lebih jelas. Aku tidak mengerti arti tatapan matamu, yang penuh harap. “Aku menerima permintaan maafmu. Aku juga minta maaf karena saat itu aku tidak sepenuhnya menjawab jujur.”

Kau tersenyum dan mengangguk.

“Kejadian itu sudah bertahun-tahun berlalu,” kataku, berusaha membalas senyummu, “sampai jumpa besok. Aku akan memperkenalkanmu pada tunanganku, Chris.”

Ya, kau terlambat, atau mungkin tepat waktu. Aku sudah menemukan orang yang ditakdirkan untuk bersama denganku bukan hanya sebagai sahabat.

DUA PSIKOPAT

Singapura

Disana kita berdiri berhadapan dengan kamera kita masing-masing, mencoba mengambil gambar dari sudut pandang yang berbeda.

Pagi itu adalah hari terakhir aku bisa keluar dengan bebas di Singapura. Aku sengaja bangun lebih awal, mengalahkan kemalasanku yang bercampur sempurna dengan kelelahan kerja hari sebelumnya. Untuk pertama kalinya setelah 10 hari di Singapura, akhirnya aku berjalan melintasi Sentosa Boardwalk dari Vivo City menuju pulau Sentosa. Udara segar dan hangatnya sinar matahari pagi membuat mood-ku semakin baik. Pemandangan di sepanjang boardwalk dan birunya air laut benar-benar menenangkan. Sepanjang jalan aku mengagumi karya Tuhan dalam warna-warna yang sempurna ini.

Masih terlalu pagi untuk melihat-lihat disana, tapi ada cukup banyak orang yang sudah mulai berfoto atau sekedar jalan-jalan. Aku berdiri memandangi Vivo City Mall dari seberang. Beberapa jam lagi aku akan meninggalkan Singapura menuju Bangkok. Waktu berjalan begitu cepat. Sepertinya aku belum melakukan apa-apa di Singapura. Mungkin aku akan mengingat waktuku di Singapura sebagai “kebebasan” saja, tanpa ada sesuatu yang bermakna untuk dikenang.

Dengan enggan aku melangkah untuk kembali ke Vivo City sambil sebentar-sebentar berhenti untuk mengambi foto. Aku melihat sebuat paviliun bergaya Eropa yang terlihat sangat indah dengan latar belakang langit dan laut. Disanalah kita berdiri berhadapan dengan kamera kita masing-masing, mencoba mengambil gambar dari sudut pandang yang berbeda. Aku menunggumu menurunkan kamera untuk mempersilakan aku mengambil gambarku. Lima detik kemudian, hal itu tidak pernah terjadi. Aku mengalah dengan agak kesal. Saat aku menurunkan kamera, kau juga melakukan hal yang sama. Aku ingin melihat ekspresi wajahmu, ternyata kau malah tersenyum. Aku memilih untuk tidak membalas senyumanmu dan segera bergegas ke arah gerbang Sentosa Boardwalk.

Benar saja, dalam waktu singkat aku sudah melupakan kejadian itu.

 

Hong Kong

Aku duduk di i-Bakery di daerah Admiralty. Banyak orang sengaja datang kemari untuk mengambil foto sunset atau pemandangan gedung-gedung tinggi khas Hong Kong. Hari masih terang ketika aku mengarahkan kameraku ke tempat orang banyak mulai memasang kamera mereka, sekitar 100 meter dari tempat aku duduk. Fokus kamera kita kembali beradu. Aku menahan napas. Ingatanku kembali ke Sentosa, beberapa bulan yang lalu.

Kita menurunkan kamera hampir bersamaan. Kali ini aku juga ingin melihat ekspresi wajahmu. Kau sama sekali tidak tersenyum. Hanya terpana disana memandangiku. Aku bertanya-tanya, apa kau ingat hari itu? Mungkin tidak. Aku kembali asyik dengan potato wedges-ku karena udara dingin membuatku merasa lapar. Beberapa kali aku melihat ke arahmu dan mendapati kau masih asyik juga dengan kameramu disana.

Saat matahari hampir terbenam, kau sudah tidak ada disana lagi. Entah kemana. Kejadian ini mungkin hanya kebetulan seperti waktu kita bertemu di Sentosa.

Kemudian aku lupa. Bukan sesuatu yang penting untuk mengingat kejadian acak seperti ini.

 

Jepang

Musim semi seperti sudah hampir berakhir di Nagasaki, waktu aku melihatmu lagi melalui lensa kameraku. Kau berdiri disana, dibawah deretan pohon sakura yang bunganya sedang berguguran. Lagi-lagi, mengarahkan kameramu kearahku.

Kembali kita menurunkan kamera hampir bersamaan. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajahmu karena jarak yang terlalu jauh. Kita berdiri berpandangan tanpa kata-kata. Begitu banyak pertanyaan memberondong pikiranku. Mengapa kita hampir selalu bertemu? Mengapa kita selalu mengarahkan kamera pada arah yang berlawanan? Mengapa? Mengapa?

Aku memberanikan diri berjalan ke arahmu. Kau menggerakkan tanganmu memberi tanda supaya aku berhenti dan bahwa kau yang akan berjalan ke arahku. Aku berhenti, menunggumu mendekat. Sekarang aku bisa melihat ekspresi wajahmu. Kau tersenyum, seperti waktu pertama kali kita, atau kamera kita, bertemu. Pertanyaan dalam pikiranku menguap entah kemana.

“Rossa,” katamu sedetik setelah kau berhenti hanya 1 meter di hadapanku.

“Siapa Rossa?” tanyaku.

“Pemilik kameramu sebelum kau membelinya di Florence, Italia, 2 tahun lalu.”

Aku tidak bisa berkata-kata. Bagaimana kau tahu? Ini kamera biasa yang memang agak langka, tapi apa kau menguntitku karena aku membeli kamera yang kau pikir adalah milik Rossa?

“Kamera ini,” kau mengangkat kameramu sebatas dada, “dibeli bersamaan dengan kameramu.”

“Apa kalian sengaja membeli kamera bersama?” tanyaku lagi.

“Tidak. Aku membelinya di sebuah toko barang bekas di Saigon.”

Aku mengerutkan kening, lalu berinisiatif memperkenalkan diri.

“Namaku Lyra. Seperti nama kontelasi.”

“Aku Theo. Seperti orang Yunani menyebut Tuhan.”

Kita duduk di dekat jembatan Megane, menyusun puzzle kisah tentang kamera kita.

Rossa adalah seorang balerina. Kekasihnya, Andre, adalah seorang anak pengusaha kaya raya di Italia. Mereka mulai berpacaran setelah Andre jatuh cinta pada tarian Rossa di sebuah pertunjukan balet. Kemudian hubungan mereka ditentang oleh orangtua Andre, dan mereka ingin melarikan diri ke tempat dimana tidak ada seorangpun mengenal mereka. Sangat klasik. Satu-satunya hal yang tidak lazim dari kisah ini adalah bahwa Rossa dan Andre memutuskan untuk membeli kamera bersama, lalu berpisah selama 2 tahun sebelum akhirnya mereka memulai hidup baru bersama di suatu tempat. Mereka berjanji memotret setiap kejadian selama 2 tahun tersebut dan kembali dengan banyak kisah petualangan cinta mereka. Ya, petualangan cinta. Mereka berasumsi bahwa selama 2 tahun ada kemungkinan mereka akan jatuh cinta kepada orang yang berbeda. Tetapi saat waktunya tiba, hati mereka yang akan menarik mereka kembali kepada satu sama lain.

“Lalu apa yang terjadi dengan kamera-kamera ini?” tanyaku.

“Kamera Andre dicuri saat dia berpetualang ke Vietnam setahun setelahnya, sedangkan kamera Rossa… digadaikan dan pada akhirnya dia tidak mampu menebusnya sehingga kamera itu dijual oleh pemilik pegadaian tempat kamu membeli kameramu.”

“Apa yang terjadi kemudian dengan mereka?”

“Andre meninggal karena kecelakaan saat dia mencoba rock swinging di Arizona. Rossa juga meninggal beberapa bulan setelahnya, karena overdosis.”

Aku terpana. “Tapi bagaimana kamu bisa menjelaskan mengapa kita selalu bertemu dengan kamera saling berlawanan arah?”

Kau tersenyum lagi. “Kalau aku berkata jujur, kamu akan berpikir bahwa aku gila.”

“Jangan-jangan kamu memang gila,” ucapku tanpa berpikir panjang.

Kau mengambil kameraku dan menunjukkan grafir inisial nama Andre disana. Inisial nama yang kurpikir hanya kode biasa pada kameraku. Kau menunjukkan grafir nama Rossa pada kameramu juga. Benar-benar membuatku hampir berpikir bahwa aku sudah gila.

Kemudian kau mengeluarkan sebuah jurnal dari tas ranselmu. Aku menerima jurnal yang kau sodorkan dan mulai mengamati halaman demi halamannya. Di setiap lembar tertempel sebuah foto beserta cacatan singkat. Aku melihat wanita yang sama selalu ada di setiap foto, dan wanita itu sedang mengarahkan kameranya pada sang fotografer.

Halaman pertama ditulis 7 tahun yang lalu.

Florence, Italia. Aku jatuh cinta pada wanita ini.

Aku mengira ini adalah jurnal milik Andre dan wanita itu adalah Rossa. Tapi aku terus membaca serta menemukan bahwa catatan ini tidak berakhir 6 tahun lalu.

Saigon, Vietnam. Aku masih jatuh cinta pada wanita ini.

Jurnal itu masih berlanjut sampai 2 tahun yang lalu, setelah aku membeli kameraku.

Melbourne, Australia. Aku tetap jatuh cinta pada wanita ini.

Aku merinding. Wanita yang sama, kamera yang sama, pose yang sama, di berbagai belahan dunia.

“Dia bukan Rossa. Dan aku tidak percaya tahayul,” katamu seolah menjawab sebagian pertanyaanku.

Aku mengernyitkan kening memandangmu, lalu mengembalikan jurnal dan segera berdiri.

“Apa kamu tidak ingin tahu siapa pemilik jurnal ini dan siapa wanita dalam foto-foto itu? Apa kamu tidak ingin tahu mengapa aku menunjukkannya padamu?” kau tetap duduk tenang disana.

“Apa ada hubungannya dengan mengapa kita selalu bertemu?”

“Apa kamu percaya takdir?” kau tersenyum.

“Mungkin kamu memang gila. Jangan membuatku juga jadi gila seperti kamu,” aku mulai melangkah pergi.

“Lyra.”

Itu adalah pertama kalinya kau menyebut namaku. Suaramu membuatku seperti tersihir dalam sesuatu yang sudah tidak asing lagi. Aku berhenti melangkah, tanpa berbalik kearahmu. Aku menunggumu mengatakan sesuatu.

“Aku juga tidak mengerti bagaimana kisah Andre dan Rossa berhubungan dengan jurnal ini atau bagaimana kita bisa selalu bertemu. Tapi apa kamu bisa memberi aku kesempatan untuk jatuh cinta?”

Aku tidak berharap untuk mendengar sesuatu seperti itu. Jantungku hampir membeku. Semua kisah yang entah nyata atau tidak itu sudah benar-benar mengganggu akal sehatku. Sekarang kau malah menambahinya dengan sesuatu yang lebih tidak masuk akal. Aku berbalik ke arahmu untuk melihat ekspresimu. Kau masih tidak beranjak dari tempatmu semula dan tersenyum. Aku sama sekali tidak bisa melihat apakah kau ternyata adalah psikopat.

Kau berdiri dan melangkah mendekatiku. Dari jarak yang hanya 5 sentimeter dariku, kau mengatakannya sekali lagi.

“Beri aku kesempatan untuk jatuh cinta.”

Aku berharap bisa membaca pikiranmu atau melihat isi hatimu. Aku masih tidak mengerti mengapa kau bertanya padaku seperti itu. Apakah aku seperti orang yang punya hak untuk memberimu izin untuk jatuh cinta? Kepada siapa kau ingin jatuh cinta?

“Apa permintaanku terlalu berat untukmu?”

Kedua matamu seperti menangkap keraguanku. Apa kau ingin jatuh cinta padaku? Apa hal seperti itu bisa diatur? Apa kau serupa dengan Andre atau pemilik jurnal tadi yang ternyata adalah pembunuh berantai? Aku tahu bahwa aku adalah wanita pemberani yang sudah mengelilingi separuh dunia seorang diri. Tapi apa aku bisa menangani seorang pria jatuh cinta? Apakah ini adalah sebuah tantangan? Apakah aku boleh menganggapnya sebagai petualangan baru?

“Lyra.”

Suaramu membuyarkan lamunanku. Aku masih bisa menatap kedua matamu yang sama sekali tidak seperti sepasang mata pembunuh berantai. Tapi siapa tahu?

“Aku bukan psikopat.”

Sepertinya aku membelalak terkejut mendengar pernyataanmu.

“Jurnal itu, dan kisah tentang kamera itu, juga perjumpaan kita… bukankah semuanya adalah tentang cinta?”

“Maafkan aku, tapi aku tidak mengerti apa yang kamu maksudkan tentang memberimu kesempatan untuk jatuh cinta. Jatuh cinta pada siapa? Mengapa kau bertanya padaku?”

Kau tersenyum lagi, “katakan saja ya atau tidak.”

Pikiran dan hatiku berdebat seru mengenai jawabannya. Apa yang akan terjadi jika aku mengatakan ya dan apa yang akan terjadi jika aku berkata tidak? Apa yang akan berubah dari kisah ini? Apa yang akan terjadi jika aku menjual kameraku? Apa yang akan terjadi jika ternyata kita tidak saling jatuh cinta? Apa yang akan kau lakukan jika kita berpisah dan tidak pernah bertemu lagi?

“Hati kita akan selalu menemukan satu sama lain,” katamu sekali lagi, seperti membaca pikiranku.

“Aku bukan Rossa.”

“Dan aku bukan Andre.”

Kita saling memandang entah berapa lama disana, hingga udara hangat daerah selatan Kyushu ini terasa terlalu panas untukku.

“Jika kita bertemu sekali lagi dengan cara yang sama, aku akan menjawab ‘ya’,” kataku seraya meninggalkanmu disana.

Kali ini kau tidak memanggilku, tidak mengejarku, tidak melakukan apapun. Mungkin kau terlalu percaya bahwa hati kita akan selalu menemukan satu sama lain. Misteri kamera ini membuat kepalaku pusing. Aku ingin segera pergi dari sini menuju Dubai. Aku sudah memastikan bahwa aku tidak meninggalkan jejak. Aku tidak ingin kau sengaja mengikutiku supaya kita bertemu lagi. Walaupun rasa penasaranku begitu bergejolak, tapi aku masih bisa menahan diri. Aku akan segera melupakannya saat aku bangun esok hari.

Tapi hingga malam itu kau masih saja menghantuiku.

“Lyra, beri aku kesempatan untuk jatuh cinta.”

 

Macau, Cina.

Berbulan-bulan kemudian, aku sedang berjalan-jalan di San Ma Lo. Aku memotret bangunan-bangunan peninggalan Portugis yang berderet dengan kamera baruku. Aku menjual kamera Rossa pada seorang kolektor di Sri Lanka. Aku ingin mengenyahkan kutukan kamera itu, sekalipun aku juga tidak percaya tahayul.

Aku berjalan terus sampai reruntuhan gereja St. Paul. Saat itu aku kembali terhenyak melihatmu tertangkap lensa kameraku. Kita menurunkan kamera kita. Aku berdiri terpaku disana sambil mengamati ekspresi wajahmu. Kau berjalan ke arahku sambil tersenyum tipis. Tipis sekali. Jantungku berdebar kencang. Aku bertanya-tanya apa yang telah terjadi denganmu selama ini? Apa kau baik-baik saja? Mengapa kau terlihat begitu sedih?

“Kamera baru?” pertanyaan retorik yang sangat umum.

“Hmm,” jawabku sambil mengangguk karena leherku tercekat menahan sesuatu yang terasa menyesakkan di dada.

Kau tidak berkata-kata lagi. Hanya menyisihkan rambutku yang menutupi wajahku karena tertiup angin. Kau kembali tersenyum. Kemudian kau menyodorkan sebuah jurnal kepadaku. Jurnal yang berbeda dari yang kau tunjukkan di Nagasaki.

“Sampai jumpa besok,” begitu katamu, lalu pergi dari sana meninggalkan aku yang masih berdiri terpaku.

Aku membuka jurnal yang kau berikan. Penuh dengan wajahku, yang tidak semuanya tertutup kamera Rossa.

Halaman pertama dimulai 2 tahun yang lalu.

Singapura. Entah mengapa, wanita ini tidak hanya mengambil gambar, tapi dia juga mengambil perhatianku.

Bangkok, Thailand. Apa aku bermimpi? Apa kamera ini menemukan pasangannya? Tapi ini berbeda dengan kisah Rossa dan Andre yang kudengar di Italia.

Kathmandu, Nepal. Mengapa wanita ini ada dimana-mana?

Busan, Korea Selatan. Hanya memperhatikannya dari jauh.

Hong Kong. Dia juga melihatku disana, tapi aku tidak terlalu yakin.

Paris, Perancis. Aku menemukan jurnal aneh di pasar loak. Serupa dengan perjumpaan kami. Dua kali untuknya, berkali-kali untukku.

Kairo, Mesir. Mungkin dia tidak mengikutiku, tapi lebih seperti aku yang mengikutinya.

Petra, Yordania. Mungkin hatiku yang membawaku kemanapun wanita ini pergi.

Birmingham, Inggris. Mungkin aku gila.

Nagasaki, Jepang. Namanya Lyra, yang dia miliki benar adalah kamera Rossa, dan aku akan menunggu jawaban YA itu.

Dubai, UAE. Aku masih menunggu.

Muscat, Oman. Menunggu.

Galle, Sri Lanka. Menunggu. Aku tidak tahu mengapa dia menjual kamera Rossa.

Guayaquil, Ecuador. Menunggu.

Sao Paulo, Brazil. Menunggu.

Yogyakarta, Indonesia. Menunggu.

BaoDing, Cina. Menunggu.

Tanpa foto: Macau, Cina.

 

Apakah aku hanya menunda waktu ini? Aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Apakah aku bahagia? Apakah aku sedih? Apakah aku menyesal? Apakah aku hanya ingin menghindar dari kepastian? Apa aku psikopat?

Jurnal itu kuletakkan rapi diatas meja. Aku membukanya sekali lagi dan memandangi fotomu halaman demi halaman. Aku tidak pernah mengerti mengapa kita selalu bertemu. Aku membuat jurnal ini karena kau juga menyita perhatianku begitu besar. Mungkin tanpa kita sadari, kita berdua adalah psikopat. Dua orang psikopat yang tidak mau saling mengaku. Atau hanya aku sendiri yang belum mau mengakuinya.

LIMA BELAS TAHUN

Setelah lewat sembilan tahun, baru kali ini kita menghabiskan waktu duduk di sebuah kafe hanya berdua.

“Nggak terasa ya, kita sudah berteman hampir sepuluh tahun,” katamu.

“Iya juga…” aku menyantap sesendok besar froyo kesukaanku.

“Pernah kepikiran nggak kalau selama ini kita sama sekali belum pernah ngobrol atau pergi bareng?”

“Kamu sibuk sama mantanmu terus sih… ups…”

Kamu tertawa. Sembilan tahun berlalu dengan hanya mengenal sebatas nama karena kita kuliah bersama. Aku sudah lulus tiga tahun lalu dan menjadi wanita kantoran, sedangkan kamu baru akan wisuda karena terlalu asyik merintis sebuah tempat kursus komputer. Aku tidak pernah menyangka bahwa kita akan duduk berdua disini, membicarakan entah apa, yang entah dimulai dari mana pula.

“Tadinya aku pikir kamu tuh serius banget,” kataku.

“Ternyata…?”

“Sinting.”

Kau tertawa lagi. Kita mulai membahas percakapan gila kita di IM beberapa bulan terakhir ini sebelum akhirnya kita pergi ke gereja bersama. Mungkin setelah tahu bahwa aku juga sudah putus dari pacarku yang sangat posesif itu, baru kamu berani mengajakku keluar.

“Apa fans-fansmu itu bakal bubar ya kalau tahu kamu kayak gini?”

“Fans apaan?” sekali lagi kamu tertawa lepas. Lesung pipitmu tampak begitu jelas.

“Ah pura-pura nggak tahu. Waktu kamu datang ke kost-ku, lihat nggak tuh cewek-cewek semua pada keluar dari kamarnya?”

“Masa sih? Pada kepanasan kali…”

Aku mencibir. Hampir semua anak kost-ku kuliah di kampus yang sama dengan kita, dan hampir semuanya kursus di tempatmu. Setiap kali aku pergi bersamamu, mereka menungguku di kost untuk bertanya tentang kamu.

“Datang ya wisudaanku bulan depan,” katamu.

“Siap lah, kan Sabtu aku libur.”

“Bawa bunga ya.”

“Idih… aku bawain coklat jago aja mau?”

“Boleh, boleh.. lima biji ya.”

“Yeee… ngelunjak deh.”

 

Setahun setelah wisudamu, kita belum pernah bertemu lagi. Hanya kadang saling kontak lewat IM. Tidak ada yang istimewa. Anak-anak kost-ku masih menanyakan kabarmu dan mengapa kamu tidak pernah datang lagi. Mereka mengira kita pacaran karena kita terlihat dekat selama beberapa bulan sebelum kamu pulang ke Jakarta setelah wisuda.

Sampai suatu hari kamu tiba-tiba mengirim pesan lewat IM. Kamu meminta bantuanku untuk mengurus terjemahan ijazah dan transkrip nilai di kampus. Kamu ingin mencoba melamar pekerjaan di luar negeri. Aku tahu bahwa beberapa teman dekatmu masih disini, tapi kamu memilih meminta tolong padaku. Spontanitasmu sudah tidak terlalu asing lagi bagiku. Kamu hampir selalu seperti itu. Siapapun yang terlintas dalam pikiranmu bisa saja menjadi korban.

Sekali lagi aku datang ke kampus untuk mengurus berkas-berkasmu. Salah seorang staf masih mengingat kita dan bertanya apa kita pacaran. Aku hanya tertawa dan menjelaskan bahwa aku hanya kebetulan saja menjadi korbanmu. Aku hampir tidak bisa membayangkan kalau kita benar pacaran.

Tidak lama setelah itu, kamu sudah ada di Auckland. Kamu bilang hanya ingin mencoba bekerja setahun disana. Aku minta dibawakan koala saat kamu pulang, tapi ini sudah tahun ketiga dan kita belum pernah bertemu lagi. Aku hanya melihatmu lewat Facebook. Kamu sepertinya sangat menikmati hari-harimu disana. Aku juga tidak memata-matai kegiatanmu, tapi kadang kamu muncul dengan ratusan foto liburan.

Sekarang aku sedang melangkahkan kaki menuju empat puluh negara. Ini negara kelimabelas yang aku kunjungi. Aku masih ingat beberapa tahun lalu kita berencana menjadi backpackers bersama ke Eropa. Entah itu hanya sekedar obrolan karena tidak ada bahan pembicaraan, atau sesuatu yang sedang benar-benar kita usahakan. Aku bekerja dan menghabiskan uangku untuk traveling. Wanita dewasa yang tidak punya tabungan untuk masa depan. Setidaknya aku menabung pengalaman dari banyak negara.

Aku melihat di newsfeed bahwa kamu pulang ke Jakarta. Aku juga ingin pulang, tapi kontrakku masih 18 bulan. Waktu aku mengomentarinya, kamu hanya bilang bahwa kita harus bertemu lagi untuk saling bercerita pengalaman kita. Entah kapan.

 

Begitulah setelah lima belas tahun, kita kembali bertemu di sebuah kafe hanya berdua.

“Lima belas tahun nih,” kamu menyeruput kopimu.

“Hmm… yang aku ingat tentang kamu cuma coklat jago sama koala… mana koalaku?”

“Hahaha… maaf, aku lupa.”

“Huh, memang dasar nggak niat ngasih.”

“Kan aku Cina pelit.”

“Lebih pelit dari aku ya ternyata.”

Hening sejenak. Aku bisa melihat senyuman tipis yang tampak aneh di wajahmu. Aku ingin bertanya, tapi aku tidak ingin mendengar jawabannya. Jadi aku memilih untuk tetap diam. Kita melanjutkan cerita perjalanan kita di negara-negara asing. Kita tertawa, kita serius, kita membunuh waktu hingga siang sudah berganti malam. Kita berjalan di kota yang lima belas tahun lalu tidak seramai ini melewati kampus kita, mendengar sayup-sayup suara persekutuan mahasiswa dari kapel. Kita merindukannya.

Kita duduk di alun-alun selatan dan melanjutkan cerita hidup kita. Tanpa terasa pagi menjelang. Kamu harus berangkat kembali ke Jakarta sebentar lagi.

“Ke Bali yuk,” kamu masih tampak begitu penuh energi.

“Hah?”

“Daripada pulang ke Jakarta, kayaknya aku lebih pengen ke Bali. Ikut yuk!”

“Kamu memang sinting ya.”

“Aku tahu. Makanya biar nggak sinting sendirian, aku ngajak kamu.”

Spontanitasmu sepertinya bergerak dinamis dengan naluri petualangku kali ini.

 

Kita disana, memandangi matahari yang hampir terbenam di Tanah Lot. Kamu duduk di sampingku tanpa sepatah katapun. Aku sedang menikmati angin sepoi-sepoi dan teduhnya gazebo kecil ini saat aku menyadari bahwa kamu sedang memandangku. Aku balas memandangmu. Kamu tersenyum seraya mulai mengucapkan sebuah pertanyaan.

“Would you spend the rest of your life together with me?”

Kalimat itu tidak terdengar seperti spontanitas. Aku hampir tidak percaya.

“Marry me,” terdengar lebih seperti perintah.

 

Jadi setelah lima belas tahun, kita memutuskan untuk melanjutkan kisah perjalanan hidup kita bersama.

MOMENTUM

Aiko

Sore itu aku melihat balon pink di rambut pirang di dekat air mancur saat aku berjalan menuju McD Senado Square. Aku langsung melihat sekeliling si rambut pirang dan menemukan sekelompok orang yang sangat tidak asing lagi bagiku. Teman-temanku sedang berbaik hati membagikan balon gratis dalam berbagai bentuk. Bukan hanya untuk anak-anak, tapi juga untuk siapapun yang tertarik.

Aku hampir tidak melihatmu karena sibuk memeluk teman-teman yang lain. Kemudian aku menyadari bahwa kau ada disana. Waktu pandangan mata kita beradu, secara otomatis tanganmu menyodorkan balon berbentuk bunga kepadaku. Tanpa mengalihkan pandangan mata kita, aku menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Aku ingin memelukmu seperti biasanya, tapi terpaksa aku beraksi karena teman-teman lain mulai mengajak berfoto.

Sudah berbulan-bulan kita bekerja bersama. Aku sering memerhatikanmu dan aku sangat bangga memiliki seorang teman yang patut dicontoh sepertimu. Sikapmu sangat positif sekaligus tegas. Walaupun kadang kau terlihat bodoh, tapi aku bisa melihat ketulusan dan kebaikan hatimu.

Aku selalu ingat gurauan konyol kita waktu kita sedang kelelahan bekerja. Aku ingat setiap percakapan tengah malam kita tentang hidup ditemani secangkir blueberry milk buatanmu. Aku ingat setiap kata-kata semangat dan kehangatan persahabatan yang selalu kau tebarkan. Aku menyayangimu seperti saudaraku sendiri. Aku tidak pernah segan memamerkanmu pada orang lain, karena menurutku kau memang pria paling tampan di tempat kerja. Sangat subyektif dan tanpa ampun terhadap pria-pria lain, tapi aku tidak peduli.

Aku tidak tahu sejak kapan kau sering tiba-tiba ada di dekatku dan menyanyi. Kadang kau melontarkan kalimat aneh yang membuatku tertawa terbahak-bahak. Tidak jarang juga kau memandangiku dan memanggil namaku, lalu kabur. Entah kapan aku mulai menganggapnya istimewa. Entah kapan aku selalu mencarimu jika kau menghilang barang sehari saja.

Mungkin aku sedang jatuh cinta.

 

James

Aku melihatmu dari jauh, berjalan ke arahku. Kau terlihat lebih cantik sore ini. Sepertinya kau juga merasakan romantisnya suasana di Senado Square. Aku cepat-cepat menyelesaikan balon bungaku supaya aku bisa memberikannya padamu.

Kupikir kau akan menyapaku lebih dulu sebelum menyapa teman-teman lain, tapi sepertinya kau tidak melihatku. Sampai akhirnya pandangan mata kita beradu, aku menyodorkan bunga buatanku. Kau menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Senyumanmu memang tidak ada tandingannya. Sayangnya setelah itu kau sibuk berfoto. Padahal aku berharap bisa memelukmu sekali lagi setelah dua hari tidak bertemu.

Menemukanmu di tempat kerja seperti menemukan sebongkah berlian tanpa seorangpun mengetahuinya. Kau begitu apa adanya dan tidak berusaha menutup-nutupi kekuranganmu. Kau sangat berbeda dengan semua wanita yang pernah kutemui. Kau sangat lemah lembut sekaligus kuat.

Aku ingin selalu membuatmu tersenyum sekalipun aku akan terlihat begitu bodoh. Aku rela membuat blueberry milk setiap hari demi mendengarkan kisahmu. Aku ingin selalu menjagamu. Aku hampir gila karena senang saat kau terus mengatakan bahwa aku adalah pria paling tampan. Kau membuatku semakin menyayangimu setiap hari. Aku tidak ingin jauh darimu lagi.

Aku harap kau juga jatuh cinta padaku.

Broken Symphony

A flock of tones are jumping around joyfully,

Dancing in a wonderful melody of sparkling colours.

But sadness is crying and tears are leaking,

Too slippery that tones start falling apart.

Harmony is damaged and scattered,

leaving a silent sheet of desolation.

 

Dear love, hope you can find your way back home to my heart…